#BookReview ke-3
Kali ini saya akan me-review sebuah disertasi yang dibukukan. Adalah Dr. Junaidi Lubis, MA, yang telah berhasil mempertahankan tesisnya beberapa tahun silam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang kemudian dibukukan dan diberi judul Islam Dinamis: Model Ijtihad Khulafaurasyidin dalam Konteks Perubahan Masyarakat.
Diterbitkan pertama kali pada tahun 2010 oleh PT Dian Rakyat dengan jumlah bersih 301 halaman, buku ini dibuat untuk memperlihatkan kedinamisan Islam dalam tilasan sejarah akibat adanya tuntutan perubahan sosial kemasyarakatan, sebab masih ada banyak pihak yang merasa bahwa Islam telah berakhir bergerak dan berinteraksi semenjak wafatnya Rasulullah.
Tentu pandangan ini kurang tepat, karena jika Islam itu sendiri mau tetap eksis, tentu harus berani menyesuaikan dirinya dengan tempat dan waktu yang senantiasa berubah. Di sinilah usaha Lubis dalam menyibak peran konstruktif ijtihad yang telah dilakukan oleh para khulafaurasyidin dalam rangka membumikan Islam di tengah kondisi zaman yang terus-menerus bertransformasi.
Terdiri dari sembilan buah bab, tulisan ini dapat dibagi menjadi dua bagian; yang pertama lebih kepada uraian seputar konsep (mulai dari konsep hukum Islam, paradigma perubahan masyarakat, term khilafah, pemahaman seputar perubahan struktur, tata nilai, dan perilaku masyarakat era khulafaurasyidin, prinsip dan metode ijtihad, hingga karakteristik hukum khalifah) yang sebelumnya ––pada Bab I–– didahului oleh sebuah pendahuluan. Sedangkan produk-produk ijtihad ––bidang agama, hukum keluarga, politik dan peradilan–– diurai dengan lihai pada bagian kedua (Bab V-VII).
Bab VIII hanya berisi pemetaan ijtihad yang sebenarnya sudah dibahas pada bab V-VII. Adapun bab terakhir, isinya berupa kesimpulan dan saran.
Dalam bab ijtihad bidang agama, Lubis memecahnya kembali menjadi tiga bagian, yakni ijtihad terhadap Alquran, praktik shalat, dan tentang zakat.
Yang pertama, sebagaimana diketahui secara umum, kekhawatiran terhadap sejumlah faktor membuat Abu Bakar memutuskan untuk menganjurkan Zaid menuliskan Alquran, sesuatu tidak pernah dilakukan atau dianjurkan oleh Rasulullah.
Awalnya Zaid menolak, tetapi karena pertimbangan maslahat, maka ia pun menuruti perintah khalifah pertama tersebut. Di era Utsman bin Affan, Zaid kembali diperintah, kali ini untuk menyatukan qiraat Alquran berdasarkan lajhah Quraish.
Naskah ini kembali mendapat penyempurnaan oleh Abu As’ad Al-Duwali atas inisiasi khalifah Ali bin Abi Thalib dengan membubuhkan tanda baca di dalamnya sehingga lebih mudah untuk dilantunkan oleh orang-orang non-Arab.
Sama halnya dengan ijtihad terhadap Alquran, praktik shalat pun mengalami perubahan. Umar bin Khattab menginisiasi shalat tarawih berjamaah berjumlah 20 rakaat. Lalu Utsman bin Affan yang menambah jumlah adzan Jum’at dan mendahulukan khutbah dari shalat Id. Sedangkan dalam urusan zakat, Abu Bakar berijtihad untuk menyerang orang-orang yang tidak mau membayar zakat, Umar yang menghapus mualaf dari daftar mustahiq. Ia pun menambah unit zakat (kuda dan budak) yang sebelumnya tidak masuk ke dalam daftar sesuatu yang dibebani zakat.
Beralih ke ijtihad bidang keluarga, Lubis mendeskripsikan dengan baik bagaimana Umar berijtihad melarang lelaki muslim menikahi wanita-wanita ahlul kitab, menetapkan angka tiga yang diucapkan atau angka satu yang diucap tiga kali akan menghasilkan talak tiga sekaligus yang berarti memiliki konsekuensi tiadanya hak rujuk lagi, dan mengubah beberapa hal dalam pembagian harta warisan.
Lalu di bidang politik, terdapat beberapa produk para khalifah mulai dari soal pengangkatan kepala negara, pembentukan dewan dan pejabat pemerintahan, tunjungan bagi rakyat, penanggalan, pembentukan lembaga peradilan, dan pandangan bahwa tanah bukanlah termasuk ghanimah (harta rampasan).
Adapun kekurangan dari buku ini, Lubis kurang memberi ruang pada varian-varian lain dari kekayaan sumber literatur sejarah yang ada menyebabkan partikular-partikular isi cerita yang disampaikan sangat terbuka untuk dipertanyakan kevaliditasannya.
Sebagai contoh, kisah terkenal yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai desakan Abu Bakar dan Umar terhadap Zaid untuk segera mengumpulkan Alquran pasca tragedi banyaknya para penghafal Alquran yang gugur dalam perang Yamamah.
Padahal kisah ini hanya merupakan satu dari sekian variasi kisah pengumpulan Alquran yang ada. Untuk itu, tidak lengkap rasanya membaca buku ini tanpa dibarengi buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran karangan Taufik Adnan Amal yang dalam salah satu sub babnya (Pengumpulan Pertama Zayd ibn Tsabit) mengurai persoalan ini dengan sumber-sumber yang amat kaya nan mencerahkan.
Tetapi jika tujuan dari keseluruhan penulisan ini hendak sekadar mengungkapkan bahwa hukum Islam itu merupakan sebuah produk yang lahir dari hasil ijtihad umat Islam (termasuk oleh para khulafaurasyidin) ––tentu dengan pedoman Alquran, As-sunnah, dan rasio–– yang senantiasa berubah selama bumi ini berputar, maka dapat dikatakan penulis telah cukup berhasil mencapai itu semua.
Apalagi ulasannya juga menggunakan pendekatan sosio-historis sehingga pembaca dapat melihat hasil produk hukum yang dipraktikkan oleh para khulafaurasyidin bukanlah sesuatu yang serampangan melainkan upaya cerdas membaca realitas kehidupan.
Bekasi, 3 September 2017
Kali ini saya akan me-review sebuah disertasi yang dibukukan. Adalah Dr. Junaidi Lubis, MA, yang telah berhasil mempertahankan tesisnya beberapa tahun silam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang kemudian dibukukan dan diberi judul Islam Dinamis: Model Ijtihad Khulafaurasyidin dalam Konteks Perubahan Masyarakat.
Diterbitkan pertama kali pada tahun 2010 oleh PT Dian Rakyat dengan jumlah bersih 301 halaman, buku ini dibuat untuk memperlihatkan kedinamisan Islam dalam tilasan sejarah akibat adanya tuntutan perubahan sosial kemasyarakatan, sebab masih ada banyak pihak yang merasa bahwa Islam telah berakhir bergerak dan berinteraksi semenjak wafatnya Rasulullah.
Tentu pandangan ini kurang tepat, karena jika Islam itu sendiri mau tetap eksis, tentu harus berani menyesuaikan dirinya dengan tempat dan waktu yang senantiasa berubah. Di sinilah usaha Lubis dalam menyibak peran konstruktif ijtihad yang telah dilakukan oleh para khulafaurasyidin dalam rangka membumikan Islam di tengah kondisi zaman yang terus-menerus bertransformasi.
Terdiri dari sembilan buah bab, tulisan ini dapat dibagi menjadi dua bagian; yang pertama lebih kepada uraian seputar konsep (mulai dari konsep hukum Islam, paradigma perubahan masyarakat, term khilafah, pemahaman seputar perubahan struktur, tata nilai, dan perilaku masyarakat era khulafaurasyidin, prinsip dan metode ijtihad, hingga karakteristik hukum khalifah) yang sebelumnya ––pada Bab I–– didahului oleh sebuah pendahuluan. Sedangkan produk-produk ijtihad ––bidang agama, hukum keluarga, politik dan peradilan–– diurai dengan lihai pada bagian kedua (Bab V-VII).
Bab VIII hanya berisi pemetaan ijtihad yang sebenarnya sudah dibahas pada bab V-VII. Adapun bab terakhir, isinya berupa kesimpulan dan saran.
Dalam bab ijtihad bidang agama, Lubis memecahnya kembali menjadi tiga bagian, yakni ijtihad terhadap Alquran, praktik shalat, dan tentang zakat.
Yang pertama, sebagaimana diketahui secara umum, kekhawatiran terhadap sejumlah faktor membuat Abu Bakar memutuskan untuk menganjurkan Zaid menuliskan Alquran, sesuatu tidak pernah dilakukan atau dianjurkan oleh Rasulullah.
Awalnya Zaid menolak, tetapi karena pertimbangan maslahat, maka ia pun menuruti perintah khalifah pertama tersebut. Di era Utsman bin Affan, Zaid kembali diperintah, kali ini untuk menyatukan qiraat Alquran berdasarkan lajhah Quraish.
Naskah ini kembali mendapat penyempurnaan oleh Abu As’ad Al-Duwali atas inisiasi khalifah Ali bin Abi Thalib dengan membubuhkan tanda baca di dalamnya sehingga lebih mudah untuk dilantunkan oleh orang-orang non-Arab.
Sama halnya dengan ijtihad terhadap Alquran, praktik shalat pun mengalami perubahan. Umar bin Khattab menginisiasi shalat tarawih berjamaah berjumlah 20 rakaat. Lalu Utsman bin Affan yang menambah jumlah adzan Jum’at dan mendahulukan khutbah dari shalat Id. Sedangkan dalam urusan zakat, Abu Bakar berijtihad untuk menyerang orang-orang yang tidak mau membayar zakat, Umar yang menghapus mualaf dari daftar mustahiq. Ia pun menambah unit zakat (kuda dan budak) yang sebelumnya tidak masuk ke dalam daftar sesuatu yang dibebani zakat.
Beralih ke ijtihad bidang keluarga, Lubis mendeskripsikan dengan baik bagaimana Umar berijtihad melarang lelaki muslim menikahi wanita-wanita ahlul kitab, menetapkan angka tiga yang diucapkan atau angka satu yang diucap tiga kali akan menghasilkan talak tiga sekaligus yang berarti memiliki konsekuensi tiadanya hak rujuk lagi, dan mengubah beberapa hal dalam pembagian harta warisan.
Lalu di bidang politik, terdapat beberapa produk para khalifah mulai dari soal pengangkatan kepala negara, pembentukan dewan dan pejabat pemerintahan, tunjungan bagi rakyat, penanggalan, pembentukan lembaga peradilan, dan pandangan bahwa tanah bukanlah termasuk ghanimah (harta rampasan).
Adapun kekurangan dari buku ini, Lubis kurang memberi ruang pada varian-varian lain dari kekayaan sumber literatur sejarah yang ada menyebabkan partikular-partikular isi cerita yang disampaikan sangat terbuka untuk dipertanyakan kevaliditasannya.
Sebagai contoh, kisah terkenal yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai desakan Abu Bakar dan Umar terhadap Zaid untuk segera mengumpulkan Alquran pasca tragedi banyaknya para penghafal Alquran yang gugur dalam perang Yamamah.
Padahal kisah ini hanya merupakan satu dari sekian variasi kisah pengumpulan Alquran yang ada. Untuk itu, tidak lengkap rasanya membaca buku ini tanpa dibarengi buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran karangan Taufik Adnan Amal yang dalam salah satu sub babnya (Pengumpulan Pertama Zayd ibn Tsabit) mengurai persoalan ini dengan sumber-sumber yang amat kaya nan mencerahkan.
Tetapi jika tujuan dari keseluruhan penulisan ini hendak sekadar mengungkapkan bahwa hukum Islam itu merupakan sebuah produk yang lahir dari hasil ijtihad umat Islam (termasuk oleh para khulafaurasyidin) ––tentu dengan pedoman Alquran, As-sunnah, dan rasio–– yang senantiasa berubah selama bumi ini berputar, maka dapat dikatakan penulis telah cukup berhasil mencapai itu semua.
Apalagi ulasannya juga menggunakan pendekatan sosio-historis sehingga pembaca dapat melihat hasil produk hukum yang dipraktikkan oleh para khulafaurasyidin bukanlah sesuatu yang serampangan melainkan upaya cerdas membaca realitas kehidupan.
Bekasi, 3 September 2017
Komentar
Posting Komentar