Karena Ketidaksempurnaan adalah Keniscayaan
Dilema Realita Demokrasi Kita
M.Jiva Agung W
Meskipun berbeda dalam perinciannya, dalam literatur khazanah keislaman, hampir seluruh ulama meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah sesosok manusia yang terpelihara dari dosa atau kesalahan. Pemahaman ini biasa dikenal dengan istilah maksum. Konon dua kali hati Nabi dibedah untuk dibersihkan dari segala bentuk kekotoran.
Berbeda dengan Rasulullah, kita yang hanya manusia biasa (dalam artian tak mengemban misi kenabian) tidak memiliki keistimewaan tersebut sehingga kesalahan atau dosa amat mungkin, kalau enggan berkata pasti, dilakukan sepanjang nafas ini masih berhembus. Oleh karenanya, tidak ada di antara kita yang pasti menggenggam seratus persen kebenaran, pun tak mungkin pula meneguk semua kesalahan. Sayangnya tidak semua orang menyadari predikat ini. Hanya karena memiliki status atau jabatan tertentu yang dirasa lebih superior, jangan dengan seenaknya memproklamirkan kebenaran yang tiada cacat di dalam diri yang ogah meminta maaf betapapun perbuatan salah telah diperbuat. Beberapa contoh akan saya urai di bawah ini.
Sikap “kelelakian” ––pada diri kaum pria–– dalam hidup berkeluarga masih lekat membudaya dalam masyarakat Indonesia meski rongrongan modernisme Barat dengan sejumlah produk feminismenya terus-menerus memberontak. Pandangannya yang relatif absolut telah menutup ruang dialektika bagi anggota keluarga lainnya (istri, anak) untuk turut menyemai ide atau gagasan dalam suatu perkara. Selain itu jika terjadi konflik internal, maka pihak yang dirasa inferiorlah yang perlu meminta maaf. Sang pria yang telah kadung merasa superior dengan sematan jabatan “kepala keluarga” di dirinya, tentu gengsi untuk memulai mengucap kata maaf. Dalam banyak kasus, dengan alasan untuk kebaikan anak, pihak istri harus mengalah, lagi dan lagi.
Masih dalam kasus hidup berkeluarga. Seorang anak memang perlu mendapat bimbingan yang telaten dari orang tua sebab mereka, yang telah hidup lebih lama, tentu telah memiliki segudang pengalaman, baik dan buruk. Pengalaman yang mereka anggap “baik” dan “buruk” itu seringkali dengan gegabah dicoba untuk di-copy paste ke dalam pengalaman anaknya secara taken for granted supaya, beginilah para orang tua sering berkata, sang anak akan memperoleh kehidupan yang lebih baik dibanding mereka. Walau mungkin niatnya baik, tetapi jika tidak memperhatikan perkembangan zaman, pun dapat menimbulkan ketidaksinkronan.
Apalagi jika term “baik-buruk” yang mereka pegang belum tentu tepat. Kondisi ini kadang diperparah oleh mereka yang memiliki sikap otoriter, serasa dunia hanya dipenuhi dengan warna hitam-putih di mana sesuatu yang tidak selaras dengan pandangannya pastilah salah. Padahal karakteristik ujian kehidupan bukanlah dua ditambah dua sama dengan berapa ––yang berarti tak menyisihkan opsi, melainkan pertanyaannya yakni “angka empat terakumulasi dari bilangan berapa tambah berapa” yang mana akan menghasilkan banyak ragam jawaban. Mengikat tali sepatu bisa beragam cara, jangan menyatakan bahwa ikatan pita hanyalah satu-satunya ikatan yang baik sedangkangkan selainnya buruk. Orang tua tidak selalu benar dan anak tak melulu salah adalah kalimat bijak yang seharusnya dapat diketahui oleh seluruh orang tua dipenjuru dunia.
Saya pribadi tak malu untuk mengakui suatu kesalahan yang pernah saya lakukan kepada adik saja, selain karena memang saya tak merasa superior (menganggap kakak pasti selalu benar) secara tidak langsung saya sedang mendidiknya untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Jika salah ya minta maaf, tak perlu malu dengan status “lebih tua”.
Menurut saya perubahan paradigma di dunia kampus di mana dahulu dosen adalah pemegang sumber “kebenaran” menjadi sekadar “fasilitator” adalah sebuah kemajuan yang berarti. Mahasiswa tidak lagi pasif menerima ilmu yang diberikan, tetapi juga bisa mendiskusikan, mendemonstrasikan, bahkan membantah atau mengkritik pandangan mereka ––tentu dengan cara yang etis. Suasana ini cukup terasa di kampus saya yang ber-background pendidikan, guna mencetak guru.
Sayangnya pola ini belum terlihat dikebumikan di jenjang yang lebih kecil (SD, SMP, SMA) sebab umumnya para guru masih adalah pemegang kebenaran tunggal yang akan “panas” jika pandangannya berbeda dengan apa yang diyakini murid. Sepertinya mereka harus menonton film drama Jepang Great Teacher Onizuka yang berkisah seputar dunia persekolahan dengan segala hiruk-pikuk problematika pendidikan modern. Di dalam episode keenam, diceritakan seorang guru perempuan bernama Fuyutsuki sensei tanpa malu meminta maaf ––bahkan sampai menundukkan kepala–– kepada Kujirakawa, salah seorang muridnya hanya karena telah meremehkan persoalan pribadi yang sedang dialami oleh muridnya tersebut.
Demikian, bahwa sejatinya siapa pun dapat melakukan kesalahan, tak peduli setinggi apapun derajat atau status sosialnya sehingga jika masih ada perasaan “lebih” dengan adanya “baju-baju” yang dimiliki, berarti kesombongan masih bersemayam di dalam diri. Padahal hanya Tuhanlah yang berhak berlaku sombong. Alih-alih mengedepankan kegengsian, pengakuan maaf atas kesalahan yang dilakukan, meski terhadap strata yang lebih rendah, malah menandai keadiluhungan prbadinya. Allahu alam. []
Komentar
Posting Komentar