Langsung ke konten utama

Siapa dan di mana yang Paling Bahagia? Part 1

#BookReview ke-6

The Geography of Bliss, karangan Eric Weiner yang merupakan seorang mantan reporter The New York Times, mengisahkan perjalanannya berkeliling dunia untuk mencari kebahagiaan.

Buku hasil terjemahan M. Rudi Atmoko yang diterbitkan oleh Qanita pada 2016 tahun lalu ini terdiri dari sepuluh bab plus satu pendahuluan dan epilog di mana setiap bab terdiri dari satu buah perjalanan Eric ke suatu negara tertentu. Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia, Moldova, Thailand, Britania Raya, India, dan dan Amerika, adalah sepuluh negara pilihan destinasi pencarian kebahagiaannya.

Memang, sulit untuk menyepakati apa saja indikator dari suatu kebahagiaan itu, tetapi, tutur Eric, para ilmuwan sosial akhirnya menemukan suatu istilah unik “kesejahteraan subjektif” (subjective well-being) untuk mengakomodir hal tersebut. Bahkan ilmuwan saraf dari Universitas Iowa telah dapat mendeteksi suasana hati seseorang (senang atau sedih) melalui upaya identifikasi wilayah tertentu pada otak manusia.  



Sebagai negara yang menjadi kunjungan pertamanya, Belanda dapat dikatakan memiliki kultur “lamban”. Eric menuturkan bahwa mereka terbiasa untuk menghabiskan waktu berjam-jam di bar/kafe hanya untuk merokok dan minum bir. Lucunya, mereka melakukan hal tersebut ––menghabiskan waktu–– tanpa rasa bersalah. Maka wajar, bagi Eric, muncul banyak filsuf di Eropa (termasuk Belanda) karena mereka sudah menjadi kebiasaan untuk nongkrong di kafe sampai membiarkan pikirannya bebas mengembara.

Di Belanda ia mengunjungi Ruut Veenhoven, seorang profesor Psikologi Positif yang bergelut dalam riset-riset kebahagiaan di dunia, yang tentunya dikaji secara ilmu (rasional empiris).

Sedikit berbeda dengan penggunaan metode para peneliti dari Universitas Iowa, Ruut mengatakan bahwa pertanyaan eksplisit jauh lebih akurat untuk mengetahui kebahagiaan seseorang, seperti “Secara umum, menurut Anda, seberapa bahagiakah Anda sekarang ini?” Meski si penjawab dapat berbohong bahkan kepada dirinya sendiri, tetapi sejatinya jika ia (seseorang) bahagia, maka ia dapat mengetahuinya ––kalau dia sedang bahagia, begitu pun sebaliknya.”

Beberapa hasil temuan Ruut yang terekam dalam buku ini ialah, pemilik sifat ekstrovert lebih bahagia daripada introvert; orang yang optimis lebih bahagia dibanding yang pesimis; manusia yang menikah lebih bahagia daripada yang bujangan, tetapi yang memiliki anak tidak lebih bahagia dibanding yang tidak memilikinya; politisi Partai Republik lebih bahagia daripada Partai Demokrat; masyarakat yang menghadiri ritus-ritus keagamaan lebih bahagia dibanding dengan yang tidak; orang yang mendapat gelar dari perguruan tinggi lebih bahagia daripada yang tidak memiliki gelar tersebut, meski gelar S2 dan S3 tidak lebih bahagia dibanding dengan yang hanya memperoleh gelar S1; mereka yang memiliki kehidupan seks dinamis lebih bahagia dibandingkan yang tidak memiliki kehidupan itu; yang paling tidak bahagia adalah orang yang sedang berangkat/pulang kerja; orang sibuk lebih bahagia dibandingkan yang tidak memiliki banyak aktivitas, dsb.

Kesulitan dari data ini ialah perihal kausalitas terbalik, seperti orang sehat lebih bahagia daripada yang sakit atau bahwa orang yang bahagia cenderung sehat.

Adapun jika digolongkan berdasarkan wilayah geografisnya, Islandia dan Denmark adalah negara paling bahagia di dunia. Anehnya, kedua negara ini memiliki masyarakat yang homogen, seakan telah meruntuhkan kepercayaan orang-orang Amerika bahwa ada kekuatan dan kebahagiaan di dalam kebhinekaan.

Yang lebih aneh lagi, data Ruut menunjukkan bahwa negara-negara terbahagia di dunia juga mempunyai tingkat bunuh diri yang tinggi.
Belanda, meskipun tidak menjadi nomor satu, secara konsisten mencetak nilai tinggi pada skala kebahagiaan.

Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, Belanda adalah negara Eropa, oleh karenya mereka tak perlu khawatir soal pekerjaan dan asuransi kesehatan (negara telah mengurusnya dengan baik). Juga karena terdapat minggu liburan setiap tahunnya. Kedua, merupakan negara paling toleran, terhadap apa saja; menerima imigran dari belahan dunia, narkoba (mariyuana dan ganja), prostitusi, dan bersepeda.

Tempat kedua adalah Swiss, sebuah negara di mana kereta berangkat tepat waktu, jalanan dan udaranya bersih, coklelat yang melimpah yang masyarakatnya selain kaya (hampir tidak ada pengangguran) juga hidup dengan efisien dan tepat waktu.

Dikatakan bahwa beberapa sumber yang menjadi kebahagiaan mereka, di antaranya: kebersihan di semua lini, bahkan di toilet sekali pun. Jika di beberapa negara meminum air keran berarti bunuh diri, di Swiss adalah suatu kebanggaan. Kedua, adalah tiada lubang di jalanan, semua berfungsi dengan baik.

Ketiga, dan ini sangat unik, orang-orang Swiss bahagia karena mereka berusaha untuk tidak menimbulkan rasa iri pada orang lain, berbalikan dengan orang Amerika.

Keempat, mereka tidak suka berbicara soal uang serta mencintai dan menghargai alam. Kelima, bekerja dengan sistem kepercayaan, yang menurut John Helliwel, seorang ekonom Kanada, kedua hal ini (kepercayaan dan kebahagiaan) tidak dapat dipisahkan.

Keenam, adalah cokelat. Ya, karena warga Swiss gemar sekali mengonsumsi cokelat di mana telah banyak bukti menyatakan bahwa cokelat dapat membuat orang, setidaknya, merasa senang, tentram, dan bahkan bahagia.

Setelah beberapa hari berkeliling Swiss, Eric kemudian berselancar ke negeri Naga, Bhutan, sebuah negara kecil di Asia Selatan yang diapit oleh India dan Republik Rakyat Tiongkok.

Menurutnya, Bhutan memiliki kekhasan yang menonjol; raja yang baik hati yang ditemani empat istrinya di mana mereka adalah bersaudara, mempunyai Lama (rahib), nilai-nilai mistik, dan kebijakan pemerintah aktual berupa Kebahagiaan Nasional Bruto.

Sepanjang perjalanan ia melihat hal-hal yang menarik sekaligus aneh, mulai dari kesederhanaan bandara yang katanya lebih tepat seperti rumah ibadah, jalan raya yang lebarnya hanya dapat dilalui satu buah mobil yang lucunya tanpa ada lampu lalu lintas (sebagai gantinya, para polisi ditempatkan di perempatan-perempatan jalan), langit yang dipenuhi kabel-kabel listrik dan bendera-bendera doa, hingga anjing-anjing yang berkeliaran di jalan raya.

Beberapa hal yang menjadikan Bhutan sebagai salah satu negara terbahagia ialah karena minimnya tindak kejahatan, hampir tak terdengar adanya kasus-kasus pembunuhan di sana, harapan hidup menjadi lebih tinggi dari 42 menjadi 64 tahun, menyediaan pendidikan dan layanan kesehatan gratis bagi seluruh warganya.

Beralih ke negeri termakmur, Qatar, Eric mengatakan bahwa di sinilah puncak negara yang mampu memenuhi hak warganya di mana bensin dijual lebih mural dibanding harga air; perawatan, kesehatan, pendidikan, dan listrik yang gratis; para mahasiswa mendapatkan upah (gaji); pria yang melangsungkan pernikahan mendapatkan sebidang tanah gratis ––untuk membangun rumah; warganya tidak dibebani pajak yang tinggi, atau bahkan tidak sama sekali (tidak ada pajak penghasilan dan penjualan). akhirnya ia menyimpulkan bahwa Qatar bahagia karena mereka memiliki banyak sekali uang.

Menuju bab kelima, Eric menceritakan pengalaman luar biasanya berada di negeri tanpa matahari, Islandia, yang menurut survei Ruut merupakan negara yang konsisten memperoleh predikat negara paling bahagia di dunia, bahkan beberapa survei lain menempatkannya di urutan pertama.

Bagaimana mungkin, negeri yang diselimuti salju memperoleh predikat ini? Tidak seperti anggapan banyak orang, database mengungkapkan bahwa semakin dingin maka, semakin bahagia.

Selain amat gemar minum (anggur, bir, kopi), orang-orang Islandia gemar menulis, bahkan menjadi penulis adalah suatu hal yang amat membanggakan. “Lebih baik berjalan tanpa alas kaki daripada tanpa buku, demikian pepatah Islandia yang dikutip oleh Eric yang menggambarkan betapa subtilnya dunia literasi bagi mereka. Bahkan pemerintah di sana memberi banyak penghargaan ––kepada para penulis–– yang mungkin dapat dihabiskan bertahun-tahun.

Salah satu faktor kebahagiaan warga Islandia, selain  karena minimnya jumlah pengangguran, mereka adalah orang-orang yang amat kreatif. Saat Eric berjalan-jalan di sekitar Reykjavic, ibu kota Islandia, semua tempat bagaikan galeri seni atau toko musik atau kafe yang dipenuhi oleh penulis yang menulis Novel Islandia Raya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da