Langsung ke konten utama

Wahai MaRu IPAI 2017, Ketahuilah 5 Hal ini Supaya Tidak Mengalami Culture Shock!



Tulisan sederhana ini sengaja didedikasikan kepada kalian, adik-adik saya tercinta mahasiswa baru IPAI angkatan 2017, yang sebentar lagi akan berenang di dunia kampus, khususnya terkait pola interaksi di dalam budaya-budaya ke-IPAI-an, supaya tidak tercengang di tengah jalan, lalu ngacir



Telah lazim diketahui bahwa setiap tempat memiliki kekhasannya masing-masing tidak terkecuali di Prodi IPAI, yang mungkin akan sedikit banyak berbeda dengan budaya di mana kalian sebelumnya tinggal. So, saya akan memberi lima buah gambaran mengenai karakteristik kehidupan keluarga besar IPAI UPI. 

1.    Beragam Pemikiran
Jika di masa sekolah dahulu kalian terbiasa dengan hanya melihat satu buah ––pemahaman–– keislaman, bahkan meyakininya sebagai satu-satunya pemahaman yang benar, maka di sini bersiaplah, kalian akan melihat beragam varian pandangan, mulai dari yang konservatif-tradisionalis, setengah modernis, revivalis, mistis, hingga liberal-humanis, yang saling bertemu dan berdialektika. 

Memang, dalam menyikapi keberagaman ini ada yang mengambil jalan toleransi, tetapi ada pula yang kekeuh pendirian, menganggap bahwa penafsiran keislamannya adalah mutlak benar, sedangkan yang lain salah. Alhamdulillah-nya, hasil penelitian kecil-kecilan saya menyatakan bahwa mahasiswa IPAI pada umumnya adalah orang-orang yang moderat.
 
Pun sama halnya dengan soal etika. Jangan mengira bahwa semua mahasiswa IPAI itu “saleh” semua (monolitik), yang rajin shalat berjamaah, suka menabung dan sayang orang tua. Tidak. Di antara mereka ada juga yang bangor, terbiasa berkata-kata kotor, dsb. 

Lalu bagaimana dengan para dosennya? Prodi IPAI tidak seperti sebuah pondok pesantren atau beberapa kampus yang menyajikan sebuah ideologi tertentu, alih-alih mereka cenderung berusaha berperan menjadi seorang fasilitator netral yang tak memaksa mahasiswanya untuk meyakini apa yang mereka percaya. Kalau pun ada, itu hanya sekadar saran karena mereka tak memiliki sepersen pun hak preogatif untuk melakukan hal tersebut.

Selain itu jangan bayangkan pula kalau para dosen memiliki pemahaman yang sama. Tidak. Mereka itu berbeda-beda dengan keunikannya masing-masing, bahkan tak mustahil satu dosen memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan dosen lainnya ––terkait suatu masalah tertentu. Sebagai contoh sederhana, Pak Aam tidak setuju dengan penafsiran sufistiknya Pak Munawar. 

2.      Organisasi Ekstra Saling Berebut Masa
Sesaat setelah terdaftar secara resmi sebagai mahasiswa baru, apa ada yang langsung menghubungi kalian? Lalu biasanya mereka mengajak ketemuan. Sejatinya, itu merupakan salah satu aksi mereka untuk mencari “mangsa”. 

Nah, untuk di IPAI, kalian harus mengetahui bahwa umumnya mahasiswa IPAI ––yang “cerdas”–– memeluk satu dari dua buah organisasi pergerakan ektra kampus ––berbasis keagamaan, yaitu KAMMI atau PMII yang dari tahun ke tahunnya saling berlomba untuk memeroleh kekuasaan, menandakan bahwa keduanya seringkali tidak akur, meski baru diakui secara diam-diam. 

Kekuasaan di sini maksudnya ialah terkait perebutan kursi jabatan struktural di Himpunan Mahasiswa (HIMA) jurusan. Betapapun, selain dua golongan ini, ada satu kelompok lagi, dan ini mayoritas, yang dinamakan sebagai fraksi netral, sebab mereka tidak berafiliasi kepada dua organisasi ekstra tersebut. 



in frame: ketua KAMMI periode 2015

Oleh karenanya, kalian dapat memilih, apakah ingin menjadi aktivis KAMMI, PMII, atau cukup bersikap netral, meski yang belakangan disebut ini bukan berarti tidak bergabung dengan organisasi mana pun.

3.      Banyak Tugas
IPAI termasuk salah satu prodi di UPI yang paling banyak ngasih tugas, apalagi Pak Epul. Wah, kalau kalian tidak menyetting mental ilahiah, maka siap-siap saja untuk menggerutu setiap harinya. 

Tugas tambahan yang tak kalah banyaknya yaitu hafalan. Di sini kalian kudu legowo menerima tuntutan hafalan, baik itu berupa hafalan Alquran maupun hadits. Zaman saya, syarat sidangnya harus hafal 2 juz yang konon setiap tahunnya akan bertambah. Angkatan 2013 harus tiga juz. Entah seberapa banyak juz Alquran yang harus kalian hafalkan. Selamat ya. Welcome to the IPAI!

4.      Keabsurdan Komdis
Sebentar lagi kalian pasti dituntut untuk mengikuti pengaderan BEM HIMA, tempat di mana mahasiswa IPAI akan menebar kontribusinya kepada masyararakat. Saya sih setuju saja dengan adanya kegiatan ini, tetapi tidak dengan divisi Komdisnya, yang seratus persen pasti akan “menyiksa” kalian, para Maru unyu-unyu. Mereka ini yang tugas awalnya hanya untuk mendisiplinkan peserta, belakangan melenceng untuk mencari-cari kesalahan, memaksa kalian untuk menjadi sosok manusia yang perfect. 




Saat saya dan teman-teman angkatan 2012 menjadi Maru, kami pun menolak Komdis tapi karena setengah takut, hasilnya nihil. Hanya saja kami punya komitmen untuk tidak meneruskan gaya feodal ini ke angkatan selanjutnya. Sialnya, ternyata menjadi atau adanya Komdis itu menyenangkan. Kami dapat memencak-mencak, membego-begokan, atau bahkan dengan tanpa tendeng aling-aling menyuruh Maru untuk push up berkali-kali. “Siapa sih yang tak mau membalas dendam? Setahun yang lalu kami yang diperlakukan seperti itu, kali ini kalian harus merasakannya pula.” Begitu mungkin bisikan-bisikan bajingan yang saya alami. 

Mengapa absurd? Itu sebenarnya ungkapan saya yang dihaluskan saja, karena tak mungkin untuk berkata kampret atau munafik ke teman sendiri. Sekali lagi, mengapa absurd? karena sering tidak ada keselarasan apa yang mereka ucap atau perintahkan dengan sesuatu yang mereka praktikkan. Contoh sederhana, mereka menyuruh peserta untuk tidak boleh telat, sedangkan di antara mereka sendiri masih ada yang suka telat datang kuliah. Ada juga yang menuntut peserta perempuan untuk memakai jilbab panjang, tetapi dari Komdis sendiri masih ada yang mengenakan hijab pendek. 

Tidak sampai di sana, teriak, marah-marah, melotot, dll, bukan merupakan budaya yang baik. Bahkan yang saya amati, tidak ada kolerasi yang signifikan antara tuntutan Komdis yang super ketat itu dengan kualitas out put-nya. 

Untuk masalah Komdis ini, saya pribadi menyarankan dua hal. Pertama, kalian perlu memaksa BEM untuk menghapus divisi Komdis, karena cara pengaderan yang seperti itu tidak cukup baik, atau kedua, tetap ada Komdis tetapi sepakati supaya cara yang mereka pakai adalah lemah lembut yang berasaskan kekeluargaan. Berani tidak menuntut ini?

5.      Mayoritas Orang Sunda 
  Bagi kalian, Maru IPAI yang bukan orang Sunda, maka siap-siaplah untuk planga-plongo, karena umumnya mahasiswa UPI, khususnya IPAI, adalah orang-orang Sunda. Oleh karena itu, meski bukan suatu kewajiban, secara kultural kalian dituntut untuk bisa menguasai bahasa Sunda, sebab itulah alat komunikasi keseharian mereka.

Demikian sekedik wajah kehidupan warga IPAI yang perlu diketahui. Semoga dapat bermafaat mengurangi culture shock kalian. Dan, selamat berjuang!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da