Langsung ke konten utama

Kisah Nabi Idris


Dialah Nabī Allāh, Idrīs Άlayhissallām. Dalam suatu kisahnya disebutkan bahwa Nabī Idrīs Άlayhissallām pernah mengunjungi neraka dan surga.
Allāh berfirman:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا (٥٦)وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا (٥٧)
Artinya: “Dan Ceritakanlah (hai Muḥammad Ṣallã Allāh ‘Alayh Wa Sallam kepada mereka, kisah) Idrīs Άlayhissallām (yang tersebut) di dalam Al Qur`ān. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabī. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”. (QS. Maryam [19]:56-57)
1.    Sifat Nabī Idrīs Άlayhissallām
Menurut (Katsir, 2010, hal. 91) menyebutkan bahwa Allāh telah memuji Idrīs Άlayhissallām dan menyebutkan sifat baginya dengan gelar kenabīan dan orang yang sangat membenarkan.
Ia melanjutkan bahwa ayat di atas memerintahkan Nabī Muḥammad Ṣallã Allāh ‘Alayh Wa Sallam. bahwa: Dan Ingatlah serta ceritakan jugalah, wahai Nabī Muḥammad Ṣallã Allāh ‘Alayh Wa Sallam, kepada umatmu apa yang terdapat di dalam al-Kitab, yakni Al-Qur`ān, tentang kisah Nabī Idrīs Άlayhissallām. Sesungguhnya ia adalah seorang ṣiddiq dan seorang Nabī yang tinggi kedudukan-nya. Dan menurut beliau mengatakan bahwa maksud dari Dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi, yakni pasti akan menempatkannya di surga (Shihab, 2002, hal. 478).
Sifat terpuji lainnya yang dimiliki Nabī Idrīs Άlayhissallām adalah seorang yang selalu benar, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dia seorang yang selalu membenarkan ayat-ayat Allāh yang datang kepadanya dengan perantaraan malaikat (ash-Shiddieqy, 2000, hal. 2489).
Sementar di dalam buku Atlas Sejarah Nabī dan Rasūl (al-Maghluts, 2007, hal. 65) disebutkan bahwa Idrīs Άlayhissallām sangat berhati-hati di dalam berbicara, banyak diam dan berwibawa. Dari mulutnya keluar nasihat-nasihat dan etika-etika filosofis yang sangat banyak seperti perkataannya, “Jangan kalian iri terhadap manusia dalam mendapatkan keberuntungan karena kesenangan mereka dengannya kecil.” Juga perkataannya, “Cinta dunia dan cinta akhirat tidak terhimpun dalam satu hati selama-lamanya.” Dia mewasiatkan anak-anaknya ketika menjelang wafat agar tulus menyembah Allāh saja dan bersikap jujur dan yakin dalam urusan-urusan kehidupan mereka. Kemudian, Allāh dirinya ke sisi-Nya.
2.    Namanya dan kelahirannya
Dia adalah Idrīs Άlayhissallām bin Yared bin Mahlail (Mahalaleel) bin Qainan (kenan) bin Anuys (Enos) bin Syiṡ (Set) bin Ādam (Bapak Manusia) ini adalah pendapat dari Samī bin ‘Abd Allah bin Aḥmad al Maghluts dalam bukunya Atlas Sejarah Nabī dan Rasūl.
Sayyid Quṭb (Shihab, 2002, hal. 478) menjelaskan bahwa diduga Idrīs Άlayhissallām as adalah Uzuris, salah satu tokoh mesir kuno. Penamaannya dengan Idrīs Άlayhissallām-menurut dugaan Sayyid Quṭb-adalah menurut lidah Arab, sama seperti halnya Yaḥya bagi Yohanes. Tokoh Uzuris dipercaya sebagai tokoh yang naik ke langit dan hidup di sana. Namun demikian, Sayyid Quṭb tidak memastikan hal tersebut walau dalam saat yang sama tidak menolaknya.
Idrīs Άlayhissallām  adalah nama lain dari Ḥanūḥ Άlayhissallām  yang merupakan jalur nasab dari Rasūl Allāh, menurut Ibn Kaṡir ini adalah pendapat sejumlah ulama yang menggeluti perihal nasab manusia. Dia adalah keturunan Ādam Άlayhissallām yang pertama kali diberi kenabīan setelah Ādam Άlayhissallām dan Syiṡ (Kaṡir, 2010).
Dalam tafsir Al-Qur`ān al-Majid An-Nūr (ash-Shiddieqy, 2000) menerangkan bahwa para ahli silsilah keturunan berpendapat bahwa Idrīs Άlayhissallām adalah kakek dari ayah Nūh. Mereka (Ahli Silsilah Keturunan) juga berpendapat bahwa Idrīs Άlayhissallāmlah orang yang mula-mula menulis dengan kalam (alat tulis) dan memakai kain yang berjahit. Manusia sebelumnya mengenakan pakaian dari kulit yang tidak berjahit. Akan tetapi tidak ada rujukan yang kuat untuk membuktikan kebenaran pendapat ahli silsilah itu. Oleh karena itu, menurut (ash-Shiddieqy, 2000) kita cukup memegangi apa yang telah diterangkan dalam Alquran
Sedangkan menurut (Al-Maragi, 1993, hal. 112) Sebagian dari orang yang meneliti peninggalan-peninggalan Mesir berpendapat, bahwa Idrīs Άlayhissallām adalah kata mu’arab (diarabkan) dari kata Uzaris atau Amuris. Dialah orang yang riwayatnya disusun oleh bangsa Mesir kuno dan diabadikan di dalam lembaran sejarah mereka antara lain dicatat, bahwa antara Idrīs Άlayhissallām dan saudaranya terjadi saling mendengki dan konflik yang mengakibatkan dia dibunuh dan dicincang berpotong-potong lalu istrinya mengumpulkannya, menyimpan dan membalsem potongan-potongan tersebut, selanjutnya mereka menjadikannya tuhan sembahan, setelah sebelumnya dia adalah seorang yang berbuat kebaikan yang agung.
Mereka berkeyakinan bahwa Uzaris naik ke langit hingga mencapai alam tertinggi dan memiliki ‘arsy yang agung di langit, di samping menikmati berbagai kebaikan. Mereka juga berkeyakinan, bahwa setiap orang yang memelihara tubuh Uzaris, lalu amalnya ditimbang setelah mati - dan para qadi yang berjumlah 42 orang menetapkan bahwa kebaikannya lebih banyak dibanding keburukannya – niscaya dia akan bertemu dengan Uzaris. Nabī yang mereka jadikan Tuhan sesudah matinya inilah, menurut mereka, yang mengajari bebagai ilmu pengetahuan.
Az-Zamakhasyari mengatakan, “Ada yang mengatakan, bahwa dinamai Idrīs Άlayhissallām karena banyaknya ia memperlajari kitab Allāh. Namanya adalah Akhnun.” Namun, pendapat pendapat ini dibantah oleh (Qurthubi, 2008, hal. 312) karena bila kata itu seperti pola if’īl dari kata ad-dars, maka hanya ada satu sebab, yaitu ilmiyah, dan itu bisa ditaṣrif, namun karena tidak dapat ditaṣrif, maka ini menunjukan bahwa nama itu adalah ‘ajam (bukan kata Arab). Demikian juga kata ibis adlah ajam (bukan kata arab), ini bukan dari al-iblās sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian orang. Demikian juga Ya’qūb (bukan dari kata Arab), dan demikian juga Isrāil, bukan dari Isrāl sebagaimana yang dinyatakan Ibn As-Sikit.
Dalam atlas sejarah Nabī dan Rasūl (al-Maghluts, 2007, hal. 65) berpendapat bahwa para ilmuwan dan ulama di bidang peristiwa masa lalu dan kisah para Nabī menyebutkan bahwa dia adalah Idrīs Άlayhissallām bin Burd, disebutkan dalam pendapat lain adalah Yared. Namanya Akhnukh (Henokh) dan dinamakan Idrīs Άlayhissallām karena banyak memperlajari kitab-kitab dan mushaf-mushaf Ādam dan Syiṡ. Ibunya adalah Asyuṡ.
Di dalam Qaṣaṣ al-anbiya’ (al-Maghluts, 2007, hal. 65) disebutkan para ahli hikmah berselisih pendapat tentang kelahiran dan tempat pertumbuhannya. Sebagian kelompok menyebutkan bahwa ia dilahirkan di Mesir dan mereka menyebutkan dirinya Hermes al-Haramisah dan kelahirannya di Menef (Memphis). Kelompok yang lainnya menyebutkan bahwa dia dilahirkan dan tumbuh besar di Babel. Babel dalam bahasa Suryani berarti sungai. Kemudian, dia memerintahkan para pengikutnya untuk pergi ke Mesir. Pada masanya, manusia berbicara dengan 72 bahasa. Dia sudah menggambar pembangunan kota-kota sehingga jumlah kota yang dibangun pada masanya adalah 188 kota. Dia membagi wilayah Bumi menjadi empat bagian dan menetapkan setiap bagiannya seorang raja. Nama-nama raja mereka adalah Elaus, Zous, Esqlebeos, dan Zous Amon.
Idrīs Άlayhissallām mempelajari ilmu Syiṡ bin Ādam. Setelah dewasa, Allāh menjadikannya Nabī. Diapun melarang orang-orang yang berbuat kerusakan melanggar syariat Ādam dan Syiṡ. Sebagian kecil mematuhinya, sementara kelompok besar membangkang. Lalu, ia berencana pergi ke tempat yang lebih bisa menerima dakwah. Itulah tanah Mesir. Dia memerintahkan mereka pergi dari Babel. Mereka bertanya kepadanya, “Di mana kami mendapatkan seumpama Bumi kami jika kami pergi?” dia menjawab, “Apabila kita berhijrah karena Allāh, kita akan diberi rizeki selainnya.” Mereka semua pun berangkat hingga sampai ke negeri Mesir. Mereka lalu melihat sungai nil. Idrīs Άlayhissallām pun berhenti di sana dan bertasbih kepada Allāh. Idrīs Άlayhissallām menetap di sana seraya mengajak orang-orang di Mesir beribadah kepada Allāh (al-Maghluts, 2007, hal. 65).
3.    Ilmu dan keahliannya   
Ibn  Isḥāq (Kaṡir, 2010, hal. 91) menyebutkan bahwa dia adalah orang yang pertama kali menulis menggunakan pena. Ia hidup bersama Ādam Άlayhissallām selama tiga ratus delapan tahun. Sebagian orang mengatakan bahwa ia adalah orang yang dimaksud dalam hadīṡ Mu’awiyah bn al Ḥakam as Sulamī, ketika Rasūl Allāh ditanya tentang tulisan di atas pasir, maka beliau bersabda: “Dahulu ada seorang Nabī yang menulis dengannya (maksudnya menullis di atas pasir). Barangsiapa yang sejalan dengan tulisannya, maka demikian itulah (tulisannya).”

Allāh berfirman:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا (٥٦)وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا (٥٧)
Dan Ceritakanlah (hai Muḥammad Ṣallã Allāh ‘Alayh Wa Sallam kepada mereka, kisah) Idrīs Άlayhissallām Άlayhissallām  (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang Nabī. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. (QS. Maryam [19]:56-57)
Perihal ayat diatas, banyak sekali pendapat-pendapat para ahli tafsir dan ulama yang berusaha menjelaskan dan menafsirkan ayat diatas. Berikut akan diuraikan pendapat-pendapat tersebut.
a.    Ibn  Abī Najih mengatakan dari mujahid berkenaan dengan firman Allāh Ta’ālā :”dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” Ia berkata: Idrīs Άlayhissallām  diangkat ke langit. Bila yang dimaksud bahwa Idrīs Άlayhissallām  masih hidup hingga sekarang, maka pendapat ini mengandung kelemahan. Namun bila yang dimaksud adalah Idrīs Άlayhissallām  diangkat ke langit kemudian dicabut nyawanya, maka hal ini lebih tidak menafikan riwayat dari Ka’ab al ḍaif (Kaṡir, 2010, hal. 93).
b.    Al ‘Aufi berkata dari Ibn  ‘Abbās berkaitan dengan firman Allāh Ta’ālā: “Dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” Idrīs Άlayhissallām  diangkat ke langit keenam dan meninggal disana. Inilah pendapat yang di ungkapkan oleh adh-Dhahak. Namun hadīṡ Mutafaqun ‘alayh yang menyebutkan bahwa Idrīs Άlayhissallām  dicabut nyawanya di langit keempat adalah hadīṡ yang lebih ṣaḥiḥ. Inilah pendapat yang diungkapkan oleh Mujahid lainnya (Kaṡir, 2010, hal. 93).
c.    Al Ḥasan al Baṣrī mengatakan berkaitan dengan firman Allāh Ta’ālā: “Dan Kami telah mengangkatnya ke martaabat yang tinggi.” Ia berkata: Ia diangkat ke surga. Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa ia diangkat di masa hidup bapaknya. Yarīd bin Mahlayil. (Kaṡir, 2010, hal. 93).
d.    Firmannya: Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi dipahami dalam arti diangkat ke kedudukan yang tinggi. Sementara beberapa ulama menurut dia (Quraish Shihab) memahaminya dalam arti hakiki, yakni Allāh mengangkatnya ke langit, seperti keyakinan sementara mereka yang berpendapat bahwa Isa as. hingga kini masih hidup di langit. Pendapat yang menyangkut kehidupan Nabī Idrīs Άlayhissallām di langit itu tidak memiliki dasar yang kuat. Menurutnya ini bersumber dari perjanjian lama (kejadian V:24) yang menyatakan bahwa: “Henokh hidup bergaul dengan Allāh lalu ia tidak ada lagi sebab ia telah diangkat oleh Allāh (Shihab, 2002).”
e.    Ada juga riwayat yang dikutip dari Al-Biqā’i menyatakan bahwa Nabī Idrīs Άlayhissallām berteman dengan malaikat maut. Beliau meminta agar malaikat itu memperlihatkan kepadanya surga dan neraka. Permintaan ini dikabulkan. Idrīs Άlayhissallām pingsan ketika melihat neraka, tetapi ketika melihat surga dan memasukinya ia enggan keluar. Allāh pun memperkenankannya untuk tidak keluar. Riwayat yang disinggung oleh beberapa pakar tafsir ini, dan diriwayatkan oleh aṭ-Ṭabarani melalui Ummū Salamaħ, nilainya sangat lemah. Dalam rangkaian perawinya terdapat seorang yang bernama Ibrāhim Ibn ‘Abd Allah al-Maṣiṣi yang dinilai oleh ulama hadiṡ sebagai seorang pembohong dan riwayatnya harus ditinggalkan.
Dari penjelasan diatas, ada satu lagi pendapat dari (Qurthubi, 2008, hal. 313) disebutkan dalam riwayat Al Bukhari, dari Syarik bin ‘Abd Allāh bin Abū Namir, ia mengatakan, “Aku mendengar Anas mendengar Anas bin Mālik mengatakan, “Pada malam diperjalankannya Rasūl Allāh dari masjid Ka’baħ.” Al hadiṡ.
Disebutkan diantaranya: “di setiap langit terdapat para Nabī beliau menyebutkan mereka- diantaranya adalah Idrīs Άlayhissallām di langit kedua.” Ini prediksi lemah (perawi), yang benar adalah di langit keempat.
    Diriwayatkan oleh Ṡabit al Bunani dari Anas bin Mālik dari Nabī yang disebutkan oleh muslim di dalam aṡ Ṣaḥiḥ. Mālik bin Ṣa’ṣa’ah meriwayatkan, ia mengatakan, “Nabī saw bersabda, ‘Ketika aku dinaikan ke langit, aku mendatangi Idrīs Άlayhissallām di langit keempat.’.”
Sebab diangkatnya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn ‘Abbās, Ka’b dan lainnya: yaitu suatu hari Idrīs Άlayhissallām keluar untuk suatu keperluan, lalu ia terkena sengatan panas matahari, maka ia pun berdoa, “Ya Allāh, aku berjalan pada suatu hari (sudah seperti ini), apalagi yang memikulnya selama lima ratus tahun dalam satu hari. Ya Allāh ringankanlah terhadapnya dari beratnya.” Maksudnya adalah malaikat yang ditugaskan menangani matahari.
Idrīs Άlayhissallām berdoa, “Ya Allāh, ringankanlah terhadapnya dari beratnya, dan redakanlah terhadapnya dari panasnya.” Ternyata malaikat itu mendapati ringannya matahari dan bayangan yang tidak diketahui, lalu malaikat itu berkata, “Wahai Tuhanku, engkau telah menciptakanku untuk membawa matahari, apa yang telah engkau tetapkan padanya?”
Allāh Ta’ālā berfirman: “Sesungguhnya hamba-Ku, Idrīs, telah memohon kepadaku agar Aku meringankan berat dan panasnya terhadapmu, maka aku mengabulkannya.” Malaikat itu berkata lagi, “Wahai Tuhanku, kumpulkanlah aku dengannya, dan jadikanlah pertautan yang dekat antara aku dan dia.” Lalu Allāh pun mengizinkannya sehingga Idrīs Άlayhissallām datang, lalu Idrīs Άlayhissallām AS bertanya, ia berkata, “Aku diberitahu bahwa engkau adalah malaikat yang lebih mulia dan lebih kuat daripada malaikat maut, mintalah syafa’at kepada-Nya agar menangguhkan ajalku, sehingga aku bisa menambah kesyukuran dan ibadah.”
    Malaikat itu berkata, “Allāh tidak akan menagguhkan sesuatu jiwa pun bila telah datang ajalnya.” Idrīs Άlayhissallām berkata lagi kepada malaikat itu, “Aku sudah tahu itu, tapi itu akan lebih menentramkan hatiku.” Malaikat itu berkata, “Baiklah”. Kemudian malaikat itu membawanya dengan sayapnya, lalu membawanya ke langit, dan menempatkannya di tempat terbitnya matahari, kemudian berkata kepada malaikat maut, “Aku punya seorang teman dari kalangan manusia, ia meminta aku supaya meminta syafa’at kepadamu agar menagguhkan ajalnya.” Malaikat maut menjawab, “Itu bukan wewenangku, tapi bila kau mau tahu, maka aku bisa memberitahu kapan ia akan mati.” Ia pun menjawab, “Baiklah.”
    Lalu malaikat maut itu melihat catatannya lalu berkata, “Engkau bertanya kepadaku tentang seorang manusia, aku lihat ia tidak akan pernah mati.” Malaikat pembawa matahari bertanya, “Bagaimana itu?” malaikat maut menjawab, “Aku tidak mendapatinya kecuali ia akan mati di tempat terbitnya matahari.” Malaikat itu berkata, “Aku datang kepadamu dan aku meninggalkannya di sana.” Malaikat maut berkata “berangkatlah, engkau tidak akan mendapatinya kecuali ia telah mati. Demi Allāh tidak ada sedikit pun yang tersisa dari ajalnya Idrīs Άlayhissallām.” Lalu malaikat itu pun kembali, lalu ia mendapati Idrīs Άlayhissallām telah mati.
    Satu lagi, as-Suddi berkata, “Pada suatu hari ia tertidur, lalu ia merasakan panasnya sengatan matahari, maka ia pun bangun dan ia merasakan kesukaran, lalu ia berdoa: ‘Ya Allāh, ringankalah panasnya dari malaikat matahari dan bantulah ia dari beratnya. Sesungguhnya ia senantiasa bergumul dengan api yang sangat panas.
    Ternyata malaikat matahari mendapati telah disediakan baginya sebuah kursi yang berbuat dari cahaya, di sebelah kanannya terdapat tujuh puluh ribu malaikat, dan seperti itu pula di sebelah kirinya, mereka semua membantunya dan menggantikan tugasnya dan pekerjaan di bawah perintahnya. Lalu malaikat matahari berkata, ‘wahai Tuhanku, darimana aku memperoleh ini?’ Allāh menjawab, ‘Seorang laki-laki dari kalangan manusia, yaitu Idrīs Άlayhissallām, telah berdoa untukmu’.”
    Selanjutnya dikemukakan seperti hadiṡnya Ka’b. Berikutnya ia menyebutkan: Lalu malaikat matahari berkata kepada Idrīs Άlayhissallām, ‘Apa engakau menginginkan suatu keperluan?’ Idrīs Άlayhissallām menjawab, ‘Ya, aku menginginkan kiranya aku berada di surga.’ Lalu malaikat itu mengangkatnya dengan sayapnya, kemudian terbang membawanya, ketika berada di langit keempat, ia bertemu dengan malaikat maut yang tengah melihat ke langit, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, maka malaikat matahari pun memberi salam kepadanya, dan ia berkata, ‘Wahai Idrīs Άlayhissallām, ini malaikat maut, berilah salam kepadanya.’
    Malaikat maut berkata, ‘Subḥanallāh. Apa artinya kau mengangkatnya kemari?’ malaikaat matahari menjawab, ‘aku mengangkatnya untuk memperlihatkan surga kepadanya.’ Malaikat maut berkata, ‘Sesungguhnya Allāh Ta’ālā telah memerintahkanku untuk mencabut nyawa Idrīs Άlayhissallām di langit keempat, lalu aku berkata, ‘Wahai Tuhanku, di langit keempat sebelah mana adanya Idrīs Άlayhissallām.’ Lalu aku turun, teryata dia ada bersamamu.’ Lalu malaikat maut mencabut nyawanya, kemudian membawanya ke surga. Kemudian malaikat menguburkan jasadnya di langit keempat. Itulah firman Allāh Ta’ālā: kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.”
    Wahb bin Munabbih mengatakan, “Setiap hari diangkatkan untuk Idrīs Άlayhissallām dari ibadah seperti yang diangkatkan bagi penduduk bumi pada masanya, maka malaikat takjub terhadapnya dan ia dirindukan oleh malaikat maut, lalu malaikat maut meminta izin kepada Tuhannya untuk mengunjunginya, maka ia pun diizinkannya.
    Malaikat maut pun mengunjunginya dalam wujud manusia, sementara itu Idrīs Άlayhissallām biasa di siang hari. Saat tiba waktu berbuka, ia mengajak malaikat itu (yang berwujud manusia) untuk ikut makan, namun malaikat itu menolak.
    Hal itu terjadi hingga tiga hari, maka Idrīs Άlayhissallām mengingkarinya, lalu Idrīs Άlayhissallām berkata, ‘Siapa engkau?’ Malaikat itu menjawab, ‘aku malaikat maut. Aku telah meminta izin kepada Allāh agar bisa menyertaimu, lalu dia mengizinkanku.’ Idrīs Άlayhissallām berkata lagi, ‘Aku punya satu keperluan kepĀdamu.’ Malaikat itu bertanya, ‘Apa itu?’ Idrīs Άlayhissallām berkata, ‘Engkau cabut nyawaku.’
    Lalu Allāh mewahyukan kepada malaikat itu agar mencabut nyawanya, maka malaikat itu pun mencabut nyawanya, lalu mengembalikannya saat itu juga. Lalu malaikat maut bertnya, ‘Apa gunanya mencabut nyawamu?’ Idrīs Άlayhissallām menjawab, ‘Agar aku bisa merasakan sakit kematian, sehingga aku bisa lebih mempersiapkan diri menghadapinya.’ Setelah sesaat Idrīs Άlayhissallām berkata lagi kepadanya, ‘Aku punya satu keperluan lagi terhadapmu.’ Malaikat itu bertanya, ‘Apa itu?’ Idrīs Άlayhissallām berkata, ‘Engkau mengangkatku ke langit, lalu aku melihat surga dan neraka.’
    Maka Allāh Ta’ālā mengizinkan malaikat itu untuk mengangkatnya kelangit, lalu Idrīs Άlayhissallām melihat neraka, maka ia pun pingsan, tatkala siuman, ia berkata, ‘Perlihatkan surga kepadaku.’ Lalu ia dimasukkan ke surga, kemudian malaikat berkata kepadanya, ‘Keluarlah agar kau bisa kembali ke tempatmu.’ Namun Idrīs Άlayhissallām berpegangan pada sebatang pohon dan berkata, ‘Aku tidak mau keluar darinya.’
    Lalu Allāh Ta’ālā mengutus seorang malaikat sebagai penengah, malaikat itu berkta, ‘Mengapa kamu tidak mau keluar?’ Idrīs Άlayhissallām menjawab, ‘Karena Allāh Ta’ālā telah berfirman
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ (١٨٥)
Artinya: “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”(QS. Ali Imran [3]: 185)
    dan aku sudah merasakannya. Dan Allāh juga telah berfirman,
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا (٧١)
Artinya: “Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam [19]: 71)
    dan aku telah mendatanginya. Dan Allāh juga telah berfirman
لا يَمَسُّهُمْ فِيهَا نَصَبٌ وَمَا هُمْ مِنْهَا بِمُخْرَجِينَ (٤٨)
Artinya: “Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya.” (QS. Al Hijr [15]: 48),
    jadi bagaimana aku akan keluar?’ Allāh swt berfirman kepada malaikat maut, ‘Dengan izinku ia masuk surga, dan dengan ku ia keluar.’
    An-Nuhas mengatakan, “Ucapan Idrīs Άlayhissallām (QS. Al Hijr [15]:48), kemungkinannya bahwa Allāh memberitahukan ini kepada Idrīs Άlayhissallām, kemudian Al-Qur`ān diturunkan mengandung ini.” Wahb bin Munabbih mengatakan, “Maka kadang Idrīs Άlayhissallām bersenang-senang ke surga, dan kadang menyembah Allāh Ta’ālā bersama para malaikat di langit.”

















REFERENSI

al-Maghluts, S. b. (2007). Atlas Sejarah Nabi dan Rasul. (L. H. Herdiansyah Achmad, Trans.) Jakarta: Kasya Media.
Al-Maragi, A. M. (1993). Tafsir Al-Maragi. (B. A. Bakar, H. N. Aly, & A. U. Sitanggal, Trans.) Semarang: PT. Karya Toha Putra.
ash-Shiddieqy, T. M. (2000). Tafsir Al-Quranul Majid An-Nuur. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra .
Kaṡir, a. H. (2010). Kisah Para Nabi dan Rasul. Jakarta: Pustaka As Sunnah.
Qurthubi, S. I. (2008). Tafsir Al Qurthubi. (A. Hamzah, Trans.) Jakarta: Pustaka Azzam.
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah. Jakarta : Lentera Hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da