Tulisan
ini berlatar belakang dari suasana yang saya alami di kampus. Saya kuliah di
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Ada yang ngeguyon, katanya UPI itu
juga bisa diartikan ‘Universitas Pesantren Indonesia’ karena banyaknya
mahasiswi yang memakai jilbab, bahkan hampir 90%. Sangat haru,karena kata dosen
saya yang juga pernah kuliah di sini, dulu masih jarang mahasiswi yang memakai
jilbab. Tetapi saat ini jilbab sudah menjadi gaya hidup mahasiswi UPI.
Kalau
boleh dipetakan, mahasiswi muslim UPI atau universitas lain dapat dikategorikan
menjadi tiga macam, pertama mahasiswi
yang tidak/ belum memakai jilbab, kedua mahasiswi
yang berbusana dan berjilbab syar’i,
sedangkan yang ketiga adalah
mahasiswi yang memakai jilbab fashionable
dan masih menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu. Tulisan ini tidak
menyoroti bagian yang pertama, tetapi yang kedua dan ketiga.
Sebelum
ke inti permasalahan, ada baiknya jika di paparkan –secara singkat- terlebih
dahulu mengenai kewajiban pemakaian jilbab bagi kaum muslimin. Ada beberapa
dalil yang sering dipakai sebagai hujjah, yaitu:
$pkr'¯»tÓÉ<¨Z9$#@è%y7Å_ºurøX{y7Ï?$uZt/urÏä!$|¡ÎSurtûüÏZÏB÷sßJø9$#úüÏRôã£`Íkön=tã`ÏB£`ÎgÎ6Î6»n=y_4y7Ï9ºs#oT÷r&br&z`øùt÷èãxsùtûøïs÷sã3c%x.urª!$##Yqàÿxî$VJÏm§ÇÎÒÈ
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih
mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab [33]:
59)
Ayat
ini telah terang untuk mewajibkan setiap perempuan untuk berjilbab dan
sekaligus memberi bantahan terhadap sementara orang yang menganggap bahwa
jilbab hanya di wajibkan kepada para istri Nabi. Selain itu saya sangat
menyangsikan pendapat yang mengatakan bahwa fungsi jilbab hanya sebagai fungsi
indentitas untuk membedakan antara perempuan muslim dengan perempuan budak
(seperti yang ceritakan dalam asbabul warudnya).
Adapun
ayat kedua berbunyi:
@è%urÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9z`ôÒàÒøótô`ÏB£`ÏdÌ»|Áö/r&z`ôàxÿøtsur£`ßgy_rãèùwurúïÏö7ã£`ßgtFt^ÎwÎ)$tBtygsß$yg÷YÏB(tûøóÎôØuø9ur£`ÏdÌßJè¿24n?tã£`ÍkÍ5qãã_(wurúïÏö7ã£`ßgtFt^ÎwÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä÷rr&Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r&÷rr&Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/÷rr&£`ÎgÏRºuq÷zÎ)÷rr&ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ)÷rr&ûÓÍ_t/£`ÎgÏ?ºuqyzr&÷rr&£`Îgͬ!$|¡ÎS÷rr&$tBôMs3n=tB£`ßgãZ»yJ÷r&Írr&úüÏèÎ7»F9$#ÎöxîÍ<'ré&Ïpt/öM}$#z`ÏBÉA%y`Ìh9$#Írr&È@øÿÏeÜ9$#úïÏ%©!$#óOs9(#rãygôàt4n?tãÏNºuöqtãÏä!$|¡ÏiY9$#(wurtûøóÎôØo£`ÎgÎ=ã_ör'Î/zNn=÷èãÏ9$tBtûüÏÿøä`ÏB£`ÎgÏFt^Î4(#þqç/qè?urn<Î)«!$#$·èÏHsdtmr&cqãZÏB÷sßJø9$#÷/ä3ª=yès9cqßsÎ=øÿè?ÇÌÊÈ
“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman
agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya) kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau para perempuan
(sesama islam) mereka, atau haba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan
laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka
menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang beriman agar kamu
beruntung.” (QS. An-Nur [24]: 31)
Sedangkan
dalam Hadits terdapat pula perintah dari Rasulullah bahwa perlunya seorang
wanita menutup seluruh anggota badannya –termasuk rambut- kecuali muka dan
telapak tangannya (pendapat mayoritas).
Aisyah
berkata bahwa Asma’ putri abu Bakar datang menemui Rasulullah saw dengan
mengenakan pakaian tipis (transparan). Maka Rasul berpaling enggan melihatnya
dan bersabda: ‘Hai Asma’, sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak
wajar lagi terlihat darinya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk ke wajah dan
kedua telapak tangannya.’ (HR. Abu Daud)
Dari
Jabir bin Abdillah ra berkata: aku hadir bersama Rasulullah saw melaksanakan
shalat Ied. Beliau shalat sebelum berkhutbah dan itu dilakukan tanpa azan dan
iqamat, lalu beliau berdiri dengan bertumpu atas bahu Bilal. Beliau berpesan
agar bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk mematuhinya. Beliau menasihati
hadirin dan mengingatkan mereka. Kemudian menuju ke tempat perempuan berkumpul,
dan menasihati serta mengingatkan mereka. Beliau bersabda: bersedekahlah
karena kebanyakan kamu adalah kayu-kayu bakar neraka. Maka tampil seorang
wanita yang duduk di tengah-tengah, pipinya hitam dan telah rusak, lalu
bertanya: mengapa ya Rasulullah? Beliau menjawab: karena kalian banyak
sekali mengeluh dan tidak bersyukur terhadap keluarga (suami). Mendengar
itu, wanita-wanita bersedekah dari perhiasan mereka. Mereka melemparkan anting
dan cincin mereka ke pakaian Bilal. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits
di atas menandakan bahwa Rasulullah melihat wajah perempuan tersebut. Jika muka
termasuk dari aurat (yang harus ditutup) sudah tentu Rasulullah menegurnya.
Tapi ternyata, beliau tidak menegurnya. Hadits lain memberitahukan bahwa:
Dari
Sahl ibn Sa’d, mengatakan bahwa ada seorang perempuan datang kepada Rasulullah
saw sedang beliau ketika itu di Masjid, lalu perempuan itu berkata: wahai
Rasulullah, aku datang meyerahkan diriku padamu. Maka beliau terdiam, dan
sungguh aku melihat perempuan itu berdiri. Lalu Rasulullah saw melihatnya dan
mengangkat pandangan beliau dan mengarahkannya kepada wanita itu, lalu beliau
menundukkan kepala. Maka ketika perempuan itu menyadari bahwa beliau tidak
menghendaki sesuatu dari (tidak berkenan menikahinya) maka dia duduk. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Kelompok Kedua
Mereka adalah muslimah-muslimah yang berada di garda
depan dalam bentuk keataatannya kepada Allah. Mereka mengetahui bahwa jika
seseorang sudah bersyahadat, sudah barang tentu konsekuensinya harus taat
kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam islam. Begitu pun dalam
masalah busana.
Menurut
mereka, urusan berbusana bukanlah sekedar masalah kulutural, namun jauh dari
itu merupakan tindakan ritual yang dijanjikan mendapatkan pahala dari Allah dan
islam.
Sejujurnya
saya sangat senang dengan adanya kehadiran mereka di kancah dunia kampus
–terlebih kampus sekuler- yang memiliki peran penyeimbang terhadap
budaya-budaya Barat yang tidak sesuai dengan islam tetapi digemari kaum
muda-mudi.
Sayangnya
dalam beberapa kesempatan, saya melihat kelompok ini masih memiliki gaya hidup
yang agak kaku[1].
Tidak terlalu bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman atau memahami
teks Alquran yang terlalu literal. Saya masih menemukan akhwat yang bau
badannya kurang enak dihirup. Agaknya karena dia memahami hadits bahwa
perempuan tidak boleh sama sekali menggunakan minyak wangi/pengharum.
Pemahaman
yang seperti ini sebenarnya masih belum komprehensif. Untuk itu tidak ada
salahnya dipaparkan bagaimana cara berpakaian yang islami.
a. Sebagaimana
Alquran dan hadits di atas, yaitu menutup aurat kecuali yang tampak (muka dan
telapak tangan)
b. Memakai
kerudung hingga menutupi dadanya, jika di kira agak menyusahkan terutama bagi
para pekerja, maka harus diyakini bahwa pakaiannya tidak ketat (menampilkan
lekuk tubuh).
c. Tidak
ketat apalagi transparan. Hal ini dapat kita ketahui dalam kisah Adam dan Hawa
ketika mereka sadar bahwa tubuhnya terlihat oleh pasangannya, mereka langsung menutupnya
dengan daun-daun surga.
$yJßg9©9ysù9ráäóÎ/4$£Jn=sù$s%#snotyf¤±9$#ôNyt/$yJçlm;$yJåkèEºuäöqy$s)ÏÿsÛurÈb$xÿÅÁøs$yJÍkön=tã`ÏBÉ-uurÏp¨Ypgø:$#($yJßg1y$tRur!$yJåk5uóOs9r&$yJä3pk÷Xr&`tã$yJä3ù=Ï?Íotyf¤±9$#@è%r&ur!$yJä3©9¨bÎ)z`»sÜø¤±9$#$yJä3s9Arßtã×ûüÎ7BÇËËÈ
“dia (setan)
membujuk mereka dengan tipu daya. Ketika mereka mencicipi (buah) pohon itu,
tampaklah oleh mereka auratnya, maka mulailah mereka menutupinya dengan
daun-daun surga. Tuhan menyeru mereka: Bukankah Aku telah melarang kamu dari
pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata
bagi kamu berdua?” (QS.Al-A’raf [7]: 22)
Perhatikan
ayat di atas! Tertera redaksi ‘daun-daun surga’ bukan ‘daun surga’, ini
menandakan bahwa mereka menutup badannya hingga rapat. Tidak ketat apalagi
transparan.
d.
Tidak mengapa
memakai busana yang bagus. Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw pernah bersabda: tidak akan masuk surga seseorang yang
didalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun hanya seberat zarrah. (HR.
Muslim) lalu Seorang laki-laki bertanya, sesungguhnya manusia suka berpakaian
bagus dan bertompah (sandal) bagus pula, apakah hal tersebut merupakan
kesombongan? Rasulullah saw menjawab: sesungguhnya Allah itu indah,
mencintai keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.
(HR. Bukhari dan Muslim)
e.
Hemat saya tidak mengapa memakai
wewangian selama dalam batas yang wajar, karena pasti kita akan bergaul dengan
sesama manusia.
Kelompok Ketiga
Saat
ini jilbab sudah berubah dari yang biasa-biasa saja –seperti kelompok kedua-
menjadi sebuah trend yang menarik banyak massa. Jika dulu pemakai jilbab
dianggap sebagai seorang yang kolot, sekarang yang memakai jilbab bisa tetap
tampil smart, elegan, cantik, dan fasionable.
Maraknya
model jilbab yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan psikologis anak muda
saat ini semakin mendorong perempuan memilih jilbab dalam berbusana
kesehariannya. Apalagi ukuran cantik kini tidak hanya ketika menggunakan
pakaian yang serba mini dan terbuka tetapi dengan jilbab pun bisa tampil cantik
dan anggun[2]
Mereka
adalah wanita-wanita yang berdandan sangat modis, dan dapat di lihat sepanjang
lingkungan kampus. Penampilan berbusana mereka sangat berbeda dengan kebanyakan
wanita yang berbusana muslim, karena model pakaian yang mereka pakai sangat stylishmodis, dari mulai kerudung, baju,
sampai sepatu, tas, yang enak dipandang mata.
Sepertinya
sebutanketaatan yang dulu disematkan kepada para pemakai jilbab, tidak
sepenuhnya benar untuk zaman ini. Karena trend jilbab yang merebah di
dunia kampus bukan lagi karena faktor ketaatan murni, melainkan tuntutan zaman.
Kenapa saya bisa menyimpulkan demikian? Terlihat dari gaya hidup mereka yang
ingin memperlihatkan kesan glamor dan kurang memperhatikan aspek syariatnya.
Seakan-akan jilbab hanya sebagai pelangkap saja.
Umumnya
busana mereka berbahan tipis, ketat bahkan seringkali terlihat pakaian dalamnya
(underwear), celana juga memakai bahan jeans yang tak kalah
ketat, tak kalah wajah yang bertaburan dengan hiasan-hiasan menor ala anak
gaul, sepatu hak tinggi dan berjalan layaknya pragawati, ditambah bau semerbak yang masih tercium dari
jarak 1 meter.
Saya
sendiri takut, jangan-jangan mereka ini yang dikabarkan oleh Rasulullah. Dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: dua kelompok penghuni neraka yang
merupakan uatku, belum saya lihat keduanya. Wanita-wanita yang berbusana tetapi
telanjang serta berlenggak lenggok dan melenggak-lenggokan orang lain, di atas
kepala mereka ada sesuatu seperti punuk-punuk unta. Mereka tidak akan masuk
surga dan tidak juga menghirup aromanya. Kedua adalah laki-laki yang memiliki
cemeti-cemeti seperti seekor sapi yang dengannya mereka menyiksa ham-hamba
Allah. (HR. Muslim)
Betapa pun, kita patut bersyukur setidaknya mereka
masih ada niatan untuk menjalankan syariat Allah walau masih dalam batas yang
minim. Maka kebijaksanaan dalam mengantisipasi hal ini menjadi syarat
mutlak bagi seorang pendakwah. Ada
sebuah cerita yang mungkin dapat direnungkan oleh kita semua selaku pengemban
misi dakwah di lingkungan kampus.
Peristiwa
ini terjadi saat Buya Hamka (Abdul Karim Amrullah) masih hidup. Ketika itu ada
pengajian regular di Masjid Agung Al-Azhar, dimana ada seorang jamaah, seorang
perempuan muda datang menggunakan selendang, tetapi dengan rok pendek. Dia
selalu memilih duduk paling depan, sehingga mulai mengundang bisik-bisik
sebagian jamaah lain yang merasa terganggu dengan penampilannya.[3]
Jamaah
yang terganggu menyampaikan hal itu kepada Irfan Hamka, salah seorang putra
Buya, yang menyampaikan kepada ulama besar tersebut ketika berada di rumah.
“ayah, makin bayak jamaah yang protes ke saya tentang cara berpakaian ibu X
itu. Kenapa ayah tidak menegurnya?” Buya menjawab, “kenapa harus ditegur? Dia
sudah ikut mengaji sudah baik. Kalau belum apa-apa ditegur, nanti dia
menghilang, bagaimana? Kita harus bersabar.” Pendek kata, Buya Hamka membiarkan
cara pemakaian jamaah perempuan itu tanpa menegurnya.[4]
Tak
lama kemudian, justru perempuan itu yang datang menghadap ke rumah Buya . Dia
menyampaikan rasa terima kasih sekaligus kekaguman, karena tidak pernah ditegur
Buya (apalagi di depan umum) soal busananya. “sebelum ini saya selalu ditegur
di pengajian lain.” Ujar perempuan itu. Perempuan itu juga minta maaf jika atas
kebelummengertiannya malah merepotkan posisi Buya di mata jamaah lain. Dan
terjadilah keajaiban itu. Pada pengajian berikutnya, ibu X itu sudah berpakaian
muslimah seperti jamaah lainnya. Tanpa disuruh oleh Buya sama sekali.[5]
Agaknya
kita bisa meniru cara dakwah seperti yang dilakukan oleh Buya.
Kesimpulan
Pemakaian
jilbab adalah sebuah kewajiban yang patut diataati oleh setiap muslimah sebagai
konsekuensi ucapan syahadatnya. Betapapun, realita tidak berkata demikian
karena masih bayak yang belum yakin untuk memakai jilbab. Hal ini dimungkinkan pemahaman
yang menyatakan bahwa pemakaian jilbab akan mengekang perempuan dan juga
merupakan sebagai simbol kemunduran. Padahal tidak, fakta membuktikan perempuan
yang berjilbab lebih terhormat di banding yang tidak memakainya, tidak sedikit
pula yang tetap berjilbab merambah dalam berbagai aspek, selain itu keamaan mereka
lebih terjaga karena aurat –yang membuat lelaki terangsang- telah ditutupnya.
Banyak
pesan yang disampaikan oleh orang-orang yang memakai jilbab diantaranya, pertama
simbol perlindungan fisik. Orang yang memakai busana muslim termasuk jilbab
akan lebih terlindungi dari segala macam bentuk keburukan di banding yang tidak
memakai jilbab.Keduasimbol perlawanan politik seperti yang dilakukan
oleh Imam Khumeini menyeru orang-orang untuk memakai jilbab setelah pemakaian
jilbab dilarang oleh Syah Pahlevi. Ketiga sebagai simbol keataan seorang
hamba, keempat sebagai simbol identitas keagamaan. Setiap agama pasti
mempunyai identitasnya masing-masing, seperti penganut agama Budha sering
memakai baju yang bewarna kecokelatan sebagai tanda kerendahan dirinya di hadapan
Tuhan, begitu pula islam dengan pakaian jilbabnya yang menandakan komitmen
mereka terhadap agama yang dianutnya.Kelima sebagai simbol kesederhanaan
dalam berpakaian.
Selain
dari semua itu, sebuah pakaian akan mempengaruhi psikologis seseorang yang
biasanya dia akan menyesuaikan sikapnya dengan pakaian yang dipakai. Jika seseorang
memakai baju polisi pasti akan bertindak layaknya polisi, mulai dari gaya
berjalannya hingga suaranya. Tidak mungkin dia bergaya layaknyaseorang dokter
atau tukang sayur.Begitu pula dengan seseorang yang memakai jilbab. Dia pasti
akan berusaha melakukan perbuatan baik dan akan malu jika sedang memakai jilbab
melakukan perbuat yang buruk, paling tidak hatinya akan menolak.
Sekali
lagi saya berpesan, betapapun telah amat
baik memakai jilbab. Tetapi bagi muslimah-muslimah yang belum
memakainya, jangan lantas menghinanya apalagi dijauhi. Kita bisa mencontoh apa
yang dilakukan oleh alm. Buya Hamka. Sungguh kecantikan seseorang bukanlah
dilihat dari fisiknya semata, melainkan dari ketakwaan dan kesalehannya.
ûÓÍ_t6»ttPy#uäôs%$uZø9tRr&ö/ä3øn=tæ$U$t7Ï9ͺuqãöNä3Ï?ºuäöqy$W±Íur(â¨$t7Ï9ur3uqø)G9$#y7Ï9ºs×öyz4Ï9ºsô`ÏBÏM»t#uä«!$#óOßg¯=yès9tbrã©.¤tÇËÏÈ
“wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya kami telah menyediakan
pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian
takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan
Allah, mudah-mudahan mereka ingat.”(QS. Al-A’raf [7]: 26)
Komentar
Posting Komentar