Langsung ke konten utama

Fenomena Berjilbab di Lingkungan Kampus:Antara Ketaatan dan Fasion

Tulisan ini berlatar belakang dari suasana yang saya alami di kampus. Saya kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Ada yang ngeguyon, katanya UPI itu juga bisa diartikan ‘Universitas Pesantren Indonesia’ karena banyaknya mahasiswi yang memakai jilbab, bahkan hampir 90%. Sangat haru,karena kata dosen saya yang juga pernah kuliah di sini, dulu masih jarang mahasiswi yang memakai jilbab. Tetapi saat ini jilbab sudah menjadi gaya hidup mahasiswi UPI.
Kalau boleh dipetakan, mahasiswi muslim UPI atau universitas lain dapat dikategorikan menjadi tiga macam, pertama mahasiswi yang tidak/ belum memakai jilbab, kedua mahasiswi yang berbusana dan berjilbab syar’i, sedangkan yang ketiga adalah mahasiswi yang memakai jilbab fashionable dan masih menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu. Tulisan ini tidak menyoroti bagian yang pertama, tetapi yang kedua dan ketiga.
Sebelum ke inti permasalahan, ada baiknya jika di paparkan –secara singkat- terlebih dahulu mengenai kewajiban pemakaian jilbab bagi kaum muslimin. Ada beberapa dalil yang sering dipakai sebagai hujjah, yaitu:
$pkšr'¯»tƒÓÉ<¨Z9$#@è%y7Å_ºurøX{y7Ï?$uZt/urÏä!$|¡ÎSurtûüÏZÏB÷sßJø9$#šúüÏRôャ`ÍköŽn=tã`ÏB£`ÎgÎ6Î6»n=y_4y7Ï9ºsŒ#oT÷Šr&br&z`øùt÷èミxsùtûøïsŒ÷sãƒ3šc%x.urª!$##Yqàÿxî$VJŠÏm§ÇÎÒÈ
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.(QS. Al-Ahzab [33]: 59)
Ayat ini telah terang untuk mewajibkan setiap perempuan untuk berjilbab dan sekaligus memberi bantahan terhadap sementara orang yang menganggap bahwa jilbab hanya di wajibkan kepada para istri Nabi. Selain itu saya sangat menyangsikan pendapat yang mengatakan bahwa fungsi jilbab hanya sebagai fungsi indentitas untuk membedakan antara perempuan muslim dengan perempuan budak (seperti yang ceritakan dalam asbabul warudnya).
Adapun ayat kedua berbunyi:
@è%urÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9z`ôÒàÒøótƒô`ÏB£`Ïd̍»|Áö/r&z`ôàxÿøtsur£`ßgy_rãèùŸwuršúïÏö7ャ`ßgtFt^ƒÎžwÎ)$tBtygsß$yg÷YÏB(tûøóÎŽôØuø9ur£`Ïd̍ßJ胿24n?tã£`ÍkÍ5qãŠã_(ŸwuršúïÏö7ャ`ßgtFt^ƒÎžwÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä÷rr&Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r&÷rr&Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/÷rr&£`ÎgÏRºuq÷zÎ)÷rr&ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ)÷rr&ûÓÍ_t/£`ÎgÏ?ºuqyzr&÷rr&£`Îgͬ!$|¡ÎS÷rr&$tBôMs3n=tB£`ßgãZ»yJ÷ƒr&Írr&šúüÏèÎ7»­F9$#ÎŽöxîÍ<'ré&Ïpt/öM}$#z`ÏBÉA%y`Ìh9$#Írr&È@øÿÏeÜ9$#šúïÏ%©!$#óOs9(#rãygôàtƒ4n?tãÏNºuöqtãÏä!$|¡ÏiY9$#(ŸwurtûøóÎŽôØo£`ÎgÎ=ã_ör'Î/zNn=÷èãÏ9$tBtûüÏÿøƒä`ÏB£`ÎgÏFt^ƒÎ4(#þqç/qè?urn<Î)«!$#$·èŠÏHsdtmƒr&šcqãZÏB÷sßJø9$#÷/ä3ª=yès9šcqßsÎ=øÿè?ÇÌÊÈ
Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama islam) mereka, atau haba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang beriman agar kamu beruntung.(QS. An-Nur [24]: 31)
Sedangkan dalam Hadits terdapat pula perintah dari Rasulullah bahwa perlunya seorang wanita menutup seluruh anggota badannya –termasuk rambut- kecuali muka dan telapak tangannya (pendapat mayoritas).
Aisyah berkata bahwa Asma’ putri abu Bakar datang menemui Rasulullah saw dengan mengenakan pakaian tipis (transparan). Maka Rasul berpaling enggan melihatnya dan bersabda: ‘Hai Asma’, sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak wajar lagi terlihat darinya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangannya.’ (HR. Abu Daud)
Dari Jabir bin Abdillah ra berkata: aku hadir bersama Rasulullah saw melaksanakan shalat Ied. Beliau shalat sebelum berkhutbah dan itu dilakukan tanpa azan dan iqamat, lalu beliau berdiri dengan bertumpu atas bahu Bilal. Beliau berpesan agar bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk mematuhinya. Beliau menasihati hadirin dan mengingatkan mereka. Kemudian menuju ke tempat perempuan berkumpul, dan menasihati serta mengingatkan mereka. Beliau bersabda: bersedekahlah karena kebanyakan kamu adalah kayu-kayu bakar neraka. Maka tampil seorang wanita yang duduk di tengah-tengah, pipinya hitam dan telah rusak, lalu bertanya: mengapa ya Rasulullah? Beliau menjawab: karena kalian banyak sekali mengeluh dan tidak bersyukur terhadap keluarga (suami). Mendengar itu, wanita-wanita bersedekah dari perhiasan mereka. Mereka melemparkan anting dan cincin mereka ke pakaian Bilal. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menandakan bahwa Rasulullah melihat wajah perempuan tersebut. Jika muka termasuk dari aurat (yang harus ditutup) sudah tentu Rasulullah menegurnya. Tapi ternyata, beliau tidak menegurnya. Hadits lain memberitahukan bahwa:
Dari Sahl ibn Sa’d, mengatakan bahwa ada seorang perempuan datang kepada Rasulullah saw sedang beliau ketika itu di Masjid, lalu perempuan itu berkata: wahai Rasulullah, aku datang meyerahkan diriku padamu. Maka beliau terdiam, dan sungguh aku melihat perempuan itu berdiri. Lalu Rasulullah saw melihatnya dan mengangkat pandangan beliau dan mengarahkannya kepada wanita itu, lalu beliau menundukkan kepala. Maka ketika perempuan itu menyadari bahwa beliau tidak menghendaki sesuatu dari (tidak berkenan menikahinya) maka dia duduk. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelompok Kedua
Mereka adalah muslimah-muslimah yang berada di garda depan dalam bentuk keataatannya kepada Allah. Mereka mengetahui bahwa jika seseorang sudah bersyahadat, sudah barang tentu konsekuensinya harus taat kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam islam. Begitu pun dalam masalah busana.
Menurut mereka, urusan berbusana bukanlah sekedar masalah kulutural, namun jauh dari itu merupakan tindakan ritual yang dijanjikan mendapatkan pahala dari Allah dan islam.
Sejujurnya saya sangat senang dengan adanya kehadiran mereka di kancah dunia kampus –terlebih kampus sekuler- yang memiliki peran penyeimbang terhadap budaya-budaya Barat yang tidak sesuai dengan islam tetapi digemari kaum muda-mudi. 
Sayangnya dalam beberapa kesempatan, saya melihat kelompok ini masih memiliki gaya hidup yang agak kaku[1]. Tidak terlalu bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman atau memahami teks Alquran yang terlalu literal. Saya masih menemukan akhwat yang bau badannya kurang enak dihirup. Agaknya karena dia memahami hadits bahwa perempuan tidak boleh sama sekali menggunakan minyak wangi/pengharum.
Pemahaman yang seperti ini sebenarnya masih belum komprehensif. Untuk itu tidak ada salahnya dipaparkan bagaimana cara berpakaian yang islami.
a.       Sebagaimana Alquran dan hadits di atas, yaitu menutup aurat kecuali yang tampak (muka dan telapak tangan)
b.      Memakai kerudung hingga menutupi dadanya, jika di kira agak menyusahkan terutama bagi para pekerja, maka harus diyakini bahwa pakaiannya tidak ketat (menampilkan lekuk tubuh).
c.       Tidak ketat apalagi transparan. Hal ini dapat kita ketahui dalam kisah Adam dan Hawa ketika mereka sadar bahwa tubuhnya terlihat oleh pasangannya, mereka langsung menutupnya dengan daun-daun surga.
$yJßg9©9ysù9ráäóÎ/4$£Jn=sù$s%#sŒnotyf¤±9$#ôNyt/$yJçlm;$yJåkèEºuäöqy$s)ÏÿsÛurÈb$xÿÅÁøƒs$yJÍköŽn=tã`ÏBÉ-uurÏp¨Ypgø:$#($yJßg1yŠ$tRur!$yJåk5uóOs9r&$yJä3pk÷Xr&`tã$yJä3ù=Ï?Íotyf¤±9$#@è%r&ur!$yJä3©9¨bÎ)z`»sÜø¤±9$#$yJä3s9Arßtã×ûüÎ7BÇËËÈ
dia (setan) membujuk mereka dengan tipu daya. Ketika mereka mencicipi (buah) pohon itu, tampaklah oleh mereka auratnya, maka mulailah mereka menutupinya dengan daun-daun surga. Tuhan menyeru mereka: Bukankah Aku telah melarang kamu dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?(QS.Al-A’raf [7]: 22)
Perhatikan ayat di atas! Tertera redaksi ‘daun-daun surga’ bukan ‘daun surga’, ini menandakan bahwa mereka menutup badannya hingga rapat. Tidak ketat apalagi transparan.
d.      Tidak mengapa memakai busana yang bagus. Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: tidak akan masuk surga seseorang yang didalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun hanya seberat zarrah. (HR. Muslim) lalu Seorang laki-laki bertanya, sesungguhnya manusia suka berpakaian bagus dan bertompah (sandal) bagus pula, apakah hal tersebut merupakan kesombongan? Rasulullah saw menjawab: sesungguhnya Allah itu indah, mencintai keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)
e.       Hemat saya tidak mengapa memakai wewangian selama dalam batas yang wajar, karena pasti kita akan bergaul dengan sesama manusia.
Kelompok Ketiga
Saat ini jilbab sudah berubah dari yang biasa-biasa saja –seperti kelompok kedua- menjadi sebuah trend yang menarik banyak massa. Jika dulu pemakai jilbab dianggap sebagai seorang yang kolot, sekarang yang memakai jilbab bisa tetap tampil smart, elegan, cantik, dan fasionable.
Maraknya model jilbab yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan psikologis anak muda saat ini semakin mendorong perempuan memilih jilbab dalam berbusana kesehariannya. Apalagi ukuran cantik kini tidak hanya ketika menggunakan pakaian yang serba mini dan terbuka tetapi dengan jilbab pun bisa tampil cantik dan anggun[2]
Mereka adalah wanita-wanita yang berdandan sangat modis, dan dapat di lihat sepanjang lingkungan kampus. Penampilan berbusana mereka sangat berbeda dengan kebanyakan wanita yang berbusana muslim, karena model pakaian yang mereka pakai sangat stylishmodis, dari mulai kerudung, baju, sampai sepatu, tas, yang enak dipandang mata.
Sepertinya sebutanketaatan yang dulu disematkan kepada para pemakai jilbab, tidak sepenuhnya benar untuk zaman ini. Karena trend jilbab yang merebah di dunia kampus bukan lagi karena faktor ketaatan murni, melainkan tuntutan zaman. Kenapa saya bisa menyimpulkan demikian? Terlihat dari gaya hidup mereka yang ingin memperlihatkan kesan glamor dan kurang memperhatikan aspek syariatnya. Seakan-akan jilbab hanya sebagai pelangkap saja.
Umumnya busana mereka berbahan tipis, ketat bahkan seringkali terlihat pakaian dalamnya (underwear), celana juga memakai bahan jeans yang tak kalah ketat, tak kalah wajah yang bertaburan dengan hiasan-hiasan menor ala anak gaul, sepatu hak tinggi dan berjalan layaknya pragawati, ditambah bau semerbak yang masih tercium dari jarak 1 meter.
Saya sendiri takut, jangan-jangan mereka ini yang dikabarkan oleh Rasulullah. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: dua kelompok penghuni neraka yang merupakan uatku, belum saya lihat keduanya. Wanita-wanita yang berbusana tetapi telanjang serta berlenggak lenggok dan melenggak-lenggokan orang lain, di atas kepala mereka ada sesuatu seperti punuk-punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak juga menghirup aromanya. Kedua adalah laki-laki yang memiliki cemeti-cemeti seperti seekor sapi yang dengannya mereka menyiksa ham-hamba Allah. (HR. Muslim)
Betapa pun, kita patut bersyukur setidaknya mereka masih ada niatan untuk menjalankan syariat Allah walau masih dalam batas yang minim. Maka kebijaksanaan dalam mengantisipasi hal ini menjadi syarat mutlak   bagi seorang pendakwah. Ada sebuah cerita yang mungkin dapat direnungkan oleh kita semua selaku pengemban misi dakwah di lingkungan kampus.
Peristiwa ini terjadi saat Buya Hamka (Abdul Karim Amrullah) masih hidup. Ketika itu ada pengajian regular di Masjid Agung Al-Azhar, dimana ada seorang jamaah, seorang perempuan muda datang menggunakan selendang, tetapi dengan rok pendek. Dia selalu memilih duduk paling depan, sehingga mulai mengundang bisik-bisik sebagian jamaah lain yang merasa terganggu dengan penampilannya.[3]
Jamaah yang terganggu menyampaikan hal itu kepada Irfan Hamka, salah seorang putra Buya, yang menyampaikan kepada ulama besar tersebut ketika berada di rumah. “ayah, makin bayak jamaah yang protes ke saya tentang cara berpakaian ibu X itu. Kenapa ayah tidak menegurnya?” Buya menjawab, “kenapa harus ditegur? Dia sudah ikut mengaji sudah baik. Kalau belum apa-apa ditegur, nanti dia menghilang, bagaimana? Kita harus bersabar.” Pendek kata, Buya Hamka membiarkan cara pemakaian jamaah perempuan itu tanpa menegurnya.[4]
Tak lama kemudian, justru perempuan itu yang datang menghadap ke rumah Buya . Dia menyampaikan rasa terima kasih sekaligus kekaguman, karena tidak pernah ditegur Buya (apalagi di depan umum) soal busananya. “sebelum ini saya selalu ditegur di pengajian lain.” Ujar perempuan itu. Perempuan itu juga minta maaf jika atas kebelummengertiannya malah merepotkan posisi Buya di mata jamaah lain. Dan terjadilah keajaiban itu. Pada pengajian berikutnya, ibu X itu sudah berpakaian muslimah seperti jamaah lainnya. Tanpa disuruh oleh Buya sama sekali.[5]
Agaknya kita bisa meniru cara dakwah seperti yang dilakukan oleh Buya.
Kesimpulan
Pemakaian jilbab adalah sebuah kewajiban yang patut diataati oleh setiap muslimah sebagai konsekuensi ucapan syahadatnya. Betapapun, realita tidak berkata demikian karena masih bayak yang belum yakin untuk memakai jilbab. Hal ini dimungkinkan pemahaman yang menyatakan bahwa pemakaian jilbab akan mengekang perempuan dan juga merupakan sebagai simbol kemunduran. Padahal tidak, fakta membuktikan perempuan yang berjilbab lebih terhormat di banding yang tidak memakainya, tidak sedikit pula yang tetap berjilbab merambah dalam berbagai aspek, selain itu keamaan mereka lebih terjaga karena aurat –yang membuat lelaki terangsang- telah ditutupnya.
Banyak pesan yang disampaikan oleh orang-orang yang memakai jilbab diantaranya, pertama simbol perlindungan fisik. Orang yang memakai busana muslim termasuk jilbab akan lebih terlindungi dari segala macam bentuk keburukan di banding yang tidak memakai jilbab.Keduasimbol perlawanan politik seperti yang dilakukan oleh Imam Khumeini menyeru orang-orang untuk memakai jilbab setelah pemakaian jilbab dilarang oleh Syah Pahlevi. Ketiga sebagai simbol keataan seorang hamba, keempat sebagai simbol identitas keagamaan. Setiap agama pasti mempunyai identitasnya masing-masing, seperti penganut agama Budha sering memakai baju yang bewarna kecokelatan sebagai tanda kerendahan dirinya di hadapan Tuhan, begitu pula islam dengan pakaian jilbabnya yang menandakan komitmen mereka terhadap agama yang dianutnya.Kelima sebagai simbol kesederhanaan dalam berpakaian.
Selain dari semua itu, sebuah pakaian akan mempengaruhi psikologis seseorang yang biasanya dia akan menyesuaikan sikapnya dengan pakaian yang dipakai. Jika seseorang memakai baju polisi pasti akan bertindak layaknya polisi, mulai dari gaya berjalannya hingga suaranya. Tidak mungkin dia bergaya layaknyaseorang dokter atau tukang sayur.Begitu pula dengan seseorang yang memakai jilbab. Dia pasti akan berusaha melakukan perbuatan baik dan akan malu jika sedang memakai jilbab melakukan perbuat yang buruk, paling tidak hatinya akan menolak.
Sekali lagi saya berpesan, betapapun telah amat  baik memakai jilbab. Tetapi bagi muslimah-muslimah yang belum memakainya, jangan lantas menghinanya apalagi dijauhi. Kita bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh alm. Buya Hamka. Sungguh kecantikan seseorang bukanlah dilihat dari fisiknya semata, melainkan dari ketakwaan dan kesalehannya.
ûÓÍ_t6»tƒtPyŠ#uäôs%$uZø9tRr&ö/ä3øn=tæ$U$t7Ï9ͺuqãƒöNä3Ï?ºuäöqy$W±Íur(â¨$t7Ï9ur3uqø)­G9$#y7Ï9ºsŒ×Žöyz4šÏ9ºsŒô`ÏBÏM»tƒ#uä«!$#óOßg¯=yès9tbr㍩.¤tƒÇËÏÈ
wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.(QS. Al-A’raf [7]: 26)



[1] Walau tidak seluruhnya. Saya hanya menemukan sebagian kecil.
[2] Hiti Badu Pakuna. (2014). Fenomena Komunitas Berjilbab: Antara Ketaatan dan Fasion. [Jurnal Al-Farabi Vol.11 No.1], hlm. 6
[3] Ibid, hlm. 9
[4] Ibid.
[5] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da