Siapa
yang tak kenal dengan surat ini? Mayoritas umat islam terutama kalangan
Nahdaliyyin di Indonesia sering membacanya, baik di kala malam jumat, ketika
mentalqin orang yang sedang sakaratul maut, di saat ada yang meninggal dunia
–biasanya selama tujuh hari sejak kematian- atau sekedar membacanya ketika
sesuai shalat.
Tetapi
apakah kita sudah memahami pesan-pesan yang terkandung di dalamnya? Saya takut
kalau-kalau kita hanya membaca tanpa mengetahui maknanya. Allah memberikan kita
Alquran bukan hanya di baca di masjid-masjid atau di rumah. Alquran adalah
sebuah buku panduan hidup (hudan li an-nas) untuk manusia meraih
kebahagiaan dunia akhirat. Bagaimana mungkin buku panduan dapat menyelesaikan
masalah jika hanya dibaca. Sudah tentu harus diterapkan.
Sebagai
seorang aktivis dakwah kampus, mutlak memahami kandungan yang terdapat dalam
Alquran, setidaknya kita belajar untuk memahaminya. Terlebih surat Yasin yang
sudah sangat tidak asing ditelinga.
Saya
tidak akan membahas seluruh topik yang ada di surat Yasin, bukan di sini
tempatnya. Tetapi jika saudara-saudara ku tertarik mengenai kandungan surat
ini, kalian bisa merujuk ke dalam kitab-kitab tafsir seperti tafsir Ibnu
Katsir, Al-Qurthubi, dan sebagainya.
Dalam
salah satu topik yang ada di dalam surat Yasin, terdapat sebuah kisah yang
dapat diambil hikmahnya. Ingin tahu? Mari kita bahas bersama.
Surat
Yasin ayat 13-32 menceritakan sebuah kisah beberapa orang pembela agama Allah.
Mereka tak gentar menghadapi berbagai ancaman dan tantangan, kukuh dalam iman
meski nyawa taruhannya. Begitu hebat perjuangannya, sampai-sampai Allah
mengabadikannya dalam Alquran. Simak ayatnya!
ó>ÎôÑ$#urMçlm;¸xsW¨B|=»ptõ¾r&Ïptös)ø9$#øÎ)$yduä!%y`tbqè=yößJø9$#ÇÊÌÈøÎ)!$uZù=yör&ãNÍkös9Î)Èû÷üuZøO$#$yJèdqç/¤s3sù$tRø¨yèsù;]Ï9$sVÎ/(#þqä9$s)sù!$¯RÎ)Nä3øs9Î)tbqè=yóDÇÊÍÈ(#qä9$s%!$tBóOçFRr&wÎ)×|³o0$oYè=÷WÏiB!$tBurtAtRr&ß`»oH÷q§9$#`ÏB>äóÓx«÷bÎ)óOçFRr&wÎ)tbqç/Éõ3x?ÇÊÎÈ(#qä9$s%$uZ/uÞOn=÷èt!$¯RÎ)óOä3ös9Î)tbqè=yößJs9ÇÊÏÈ$tBur!$uZøn=tãwÎ)à÷»n=t7ø9$#ÚúüÎ7ßJø9$#ÇÊÐÈ(#þqä9$s%$¯RÎ)$tR÷¨sÜs?öNä3Î/(ûÈõs9óO©9(#qßgtF^s?ö/ä3§YuHäd÷t\s9Oä3§Z¡¡yJus9ur$¨ZÏiBë>#xtãÒOÏ9r&ÇÊÑÈ(#qä9$s%Nä.âȵ¯»sÛöNä3yè¨B4ûÉîr&Oè?ôÅe2è4ö@t/óOçFRr&×Pöqs%cqèùÍô£BÇÊÒÈuä!%y`urô`ÏB$|Áø%r&ÏpuZÏyJø9$#×@ã_u4Ótëó¡otA$s%ÉQöqs)»t(#qãèÎ7®?$#úüÎ=yößJø9$#ÇËÉÈ(#qãèÎ7®?$#`tBwö/ä3é=t«ó¡o#\ô_r&NèdurtbrßtGôgBÇËÊÈ$tBuruÍ<Iwßç7ôãr&Ï%©!$#ÎTtsÜsùÏmøs9Î)urtbqãèy_öè?ÇËËÈäϪBr&uä`ÏBÿ¾ÏmÏRrߺpygÏ9#uäbÎ)Èb÷Ìãß`»oH÷q§9$#9hÛØÎ/wÇ`øóè?ÓÍh_tãöNßgçFyè»xÿx©$\«øx©wurÈbräÉ)ZãÇËÌÈþÎoTÎ)#]Î)Å"©99@»n=|ÊAûüÎ7BÇËÍÈþÎoTÎ)àMZtB#uäöNä3În/tÎ/ÈbqãèyJó$$sùÇËÎÈ@Ï%È@äz÷$#sp¨Ypgø:$#(tA$s%|Møn=»tÍGöqs%tbqßJn=ôètÇËÏÈ$yJÎ/txÿxîÍ<În1uÓÍ_n=yèy_urz`ÏBtûüÏBtõ3ßJø9$#ÇËÐÈ*!$tBur$uZø9tRr&4n?tã¾ÏmÏBöqs%.`ÏB¾ÍnÏ÷èt/`ÏB7Zã_ÆÏiBÏä!$yJ¡¡9$#$tBur$¨Zä.tû,Î!Í\ãBÇËÑÈbÎ)ôMtR%x.wÎ)Zpysø|¹ZoyÏnºur#sÎ*sùöNèdtbrßÏJ»yzÇËÒȸouô£ys»tn?tãÏ$t6Ïèø9$#4$tBOÎgÏ?ù't`ÏiB@AqߧwÎ)(#qçR%x.¾ÏmÎ/tbrâäÌöktJó¡oÇÌÉÈóOs9r&(#÷rttö/x.$uZõ3n=÷dr&Nßgn=ö6s%ÆÏiBÈbrãà)ø9$#öNåk¨Xr&öNÍkös9Î)wtbqãèÅ_ötÇÌÊÈbÎ)ur@@ä.$£J©9ÓìÏHsd$uZ÷t$©!tbrç|ØøtèCÇÌËÈ
“Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan,
Yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka. (yaitu)
ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan
keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, Maka ketiga utusan
itu berkata: "Sesungguhnya Kami adalah orang-orang di utus kepadamu".
Mereka menjawab: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti Kami dan
Allāh yang Maha Pemurah tidak menurunkan
sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka". Mereka berkata:
"Tuhan Kami mengetahui bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang yang diutus
kepada kamu". Dan kewajiban Kami tidak lain hanyalah menyampaikan
(perintah Allāh ) dengan jelas". Mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami
bernasib malang karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru
kami), niscaya Kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang
pedih dari kami". Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah
karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)?
sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas". Dan datanglah dari ujung
kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku,
ikutilah utusan-utusan itu". Ikutilah orang yang tiada minta Balasan
kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Mengapa aku
tidak menyembah (tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah
kamu (semua) akan dikembalikan? Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain
nya jika (Allāh ) yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku,
niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka
tidak (pula) dapat menyelamatkanku? Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada
dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; Maka
dengarkanlah (pengakuan keimanan) ku. Dikatakan (kepadanya): "Masuklah ke
syurga". ia berkata: "Alangkah baiknya Sekiranya kamumku mengetahui.
Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku Termasuk
orang-orang yang dimuliakan". Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya
sesudah Dia (meninggal) suatu pasukanpun dari langit dan tidak layak Kami
menurunkannya. Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara
saja; Maka tiba-tiba mereka semuanya mati. Alangkah besar penyesalan terhadap
hamba-hamba itu, setiap datang seorang Rasul kepada mereka, mereka selalu
mengolok-oloknya. Tidakkah mereka mengetahui berapa banyak umat-umat sebelum
mereka yang telah Kami binasakan. Orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu
tidak ada yang kembali kepada mereka. Dan setiap (umat), semuanya akan
dihadapkan kepada Kami.(QS. Yasin [36]: 13-32)
Pada surat ini Allah
menguraikan satu contoh cerita tentang kisah penduduk suatu negeri.
Keadaan mereka tidak jauh dengan keadaan masyarakat di zaman Rasulullah –penduduk Thaif-
yang menolak risalah kenabian.
Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk menyampaikan kisah
tersebut kepada umatnya supaya mereka (penduduk Mekkah) dapat menarik pelajaran
dan mendorong mereka untuk beriman dan
takut jika keadaan penduduk negeri ituakan dialami pula orang mereka.
Telah terkenal oleh ulama kalangan salaf dan khalaf bahwa nama
negeri tersebut bernama Anṭakiyaħ, yaitu suatu kota lama di wilayah Suriah
dewasa ini. Berita ini diriwayatkan oleh Ibn Ishaq yang berasal dari Ibn ‘Abbās
Demikian halnya yang diriwayatkan dari ‘Ikrimaħ, Qatadaħ, Az-ZuhrĪ dan lain-lainnya[1].
Pada permulaan abad tahun masehi Anṭakiyaħ merupakan salah satu
kota yang penting sekali di Suriyah utara. Tempat ini dibangun oleh Seleucus Nicator, salah seorang pengganti Iskandar Agung, sekitar 300
tahun P.M untuk mengenang ayahnya yaitu Antiochus. Letak kota itu dekat laut, dan pelabuhannya di Seleusia.
Tak lama sepeninggal Nabi Isa,
murid-muridnya berhasil menyebarkan agama disana dan disanalah murid-murid itu
disebut pertama kalinya dengan “kristen” kemudian tempat itu menjadi pusat
keuskupan yang sangat penting dalam gereja kristen[2].
Tetapi pendapat ini ditolak oleh beberapaulama dengan alasan bahwa Anṭakiyaħ
tidak pernah dibinasakan, baik pada masa NabiIsa
maupun sebelumnya, sedangkan kisah negeri yang diuraikan disini menegaskan
pembinasaan penduduk negeri itu. Di sisi lain penduduk negeri itu dikenal
sebagai penduduk pertama yang mempercayai kerasulan Isa dan disana dikenal
banyak sekali pemuka-pemuka agama Kristen[3].
Ibn Ishaq berkata,dari Ibn ‘Abbās, Ka’ab Al-Aḥbār dan Wahb berkata:
“Dahulu mereka memiliki seorang raja yang bernama Antikus bin Antikus yang menyembah berhala. Maka
Allah mengutus tiga orang Rasul, yaitu: Ṣādiq,
Maṣdūq,dan Syalūm. Namun mereka mendustakan ketiga Rasul tersebut. Mereka
adalah para Rasūl yang diutus oleh Allah. Namun Qatadaħ beranggapan bahwa
ketiga utusan datang dari pengikut Nabi
Isa. Demikian yang halnya diungkapkan oleh IbnuJarir dari Wahb dari Ibn
Sulaiman dari Syu’aib al-jabai, ia berkata: “Nama-nama Rasul tersebut adalah:
Syam’un, Yohana, dan Paulus. Sedangkan negeri tersebut bernama Anṭakiyaħ.”
Namun pendapat ini sangat lemah, sebab Anṭakiyaħ adalah kota pertama yang beriman
kepada Isa ketika ketiga hawariyyun (pengikut setia Nabi Isa) tersebut diutus
kepada mereka[4].
Hemat saya, apakah itu berada di Anṭakiyaħ atau bukan, tidaklah
merupakan sebuah permasalahan yang besar, yang pasti peristiwa tersebut pernah
ada di muka bumi ini (bukan mitos) dan bisa dijadikan bahan pelajaran bagi umat
selanjutnya.
Siapa pun namanya, mereka adalah para penyebar risalah Nabi Isa
–yang masih murni-. Sayangnya, risalah tersebut diabaikan oleh penduduk
setempat.
Ulama Kontemporer, IbnAsyur[5]
menilai bahwa penduduk negeri yang menolak ini adalah kelompokpenyembah berhala
yang berasal dari Yunanikarena mereka tidak percaya Tuhan mengutus manusia
menyampaikan ajaran-Nya. Boleh jadi juga penolakan itu bersumber dari
orang-orang Yahudi penduduk negeri itu karena mereka menolak adanya Rasul
sesudah Nabi Musa.
Penduduk tersebut menolaknya dengan beranggapan bahwa kehadiran
para utusan itu berdampak negatif terhadap kehidupan mereka. Dalam konteks ayat
ini[6],
sementara ulama berpendapat bahwa dampak negatif yang mereka maksud ialah munculnya
bencana di daerah tersebut, seperti wabah penyakit, paceklik, atau semacamnya dan
jika para utusan itu tidak berhenti maka mereka akan merajamnya dengan batu
hingga mati, “sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami) niscaya kami akan merajam kamu”.
Lalu utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah
kemalangan kamu sendiri, apakah jika kamu diberi peringatan (kamu
bernasib malang?)” yaitu apakah dikarenakan kami telah memberi peringatan
kepada kalian berupa petunjuk kebenaran dan kami menyeru kalian kepada-Nya,
lantas kalian mengancam akan membunuh dan menghina kami? “sebenarnya kamu
adalah kaum yang melampaui batas.”
Demikian sikap penduduk tersebut kepada Para Rasulnya.
Berita tentang keadaan mereka pun tersebar dimana-mana dan akhirnya datanglah dariujung kota, seorang laki-laki
mukmin yang tergugah hatinya melihat sikap kaumnya menghadapi
ketiga Rasul tersebut. Ia mengunjungi tempat mereka dengan berjalan
bergegas-gegas dan dengan penuh kesungguhan.
Dia berkata menasehati mereka “Hai kaumku ikutilah utusan-utusan
itu dalam tuntunan-tuntunan mereka, ikutilah dengan tekun dan sungguh-sungguh
walau hanya seorang terlebih lagi mereka bertiga yang tidak seorang pun dari
mereka yang meminta dari kamu imbalan walau sedikit.”
Lelaki mukmin itu diduga oleh sementara pakar bernama Habib
An-Najjar. Beliau menjelaskan kepada penduduk disana bahwa para Rasul itu tulus
dalam menyampaikan risalahnya dan
bersedia meluangkan waktu untuk menyampaikan kebenaran
tanpa mengharapkan imbalan dari makhluk.
Sebagaimana yang tertera dalam hadits, beliau adalah seorang yang
telah menderita penyakit kusta bertahun-tahun, kemudian Allah menyembuhkannya
melalui perantara tangan utusan Nabi Isa. Kemudian ia pun beriman dan masuk
islam. Ia menggunakan waktunya untuk beribadah kepada Allah. Namun tatkala
sampai kepadanya berita bahwa penduduk kota tersebut ingin menyerang para
utusan itu, lalu ia datang dengan bergegas untuk menolong dakwah mereka dan
menyeru penduduknya untuk beriman kepada Allah[7].
Ironinya, walau sudah diperingati (nasihat) oleh Habib An-Najjar,
penduduk tersebut tetap saja membangkang. Kekesalan itu hingga memberanikan
diri mereka untuk membunuh Habib An-Najjar. Maka mereka melemparnya dengan batu hingga gugur sebagai syahid. Di
sela-sela akhir kematiannya, laki-laki tersebut berbicara kepada
para Rasul, “Sesungguhnya aku telah
beriman kepada Tuhanmu, maka dengarlah (pengakuan keimanan)ku”
Ketika itu datanglah malaikat menyambut ruhnya. Dikatakan kepadanya oleh para
malaikat: “masuklah ke surga, yakni[8]
bergembiralah dengan surga yang akan engkau masuki kelak atau nikmatilah
kenikmatan surgawi di alam kubur sebelum menikmati surga yang akan engkau huni”
mendengar kabar tersebut, ia yang demikian suci hatinya lagi tidak menaruh
dendam walau kepada para pembunuhnya berkata : “alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui ” yang sedang ku alami
ini dan mengetahui pula apa yang menyebabkan Tuhan pemelihara yang selalu berbuat baik kepadaku mengampuni aku
dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.
Setelah peristiwa itu terjadi, maka Allah berfirman, “Kami tidak perlu menurunkan satu pasukan (pembawa risalah lain) pun dari langit kepada kaumnya, dan kami tidak perlu menurunkannya.
Tidak ada siksaan terhadap mereka melainkan dengan satu teriakan saja, maka
seketika itu mereka mati”
Beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa Allah mengutus malaikat Jibril untuk membuka dua
daun pintu gerbang kota tersebut. Lalu ia berteriak kepada mereka dengan satu
teriakan. Maka serentak mereka mati semua, yakni suara tersebut menjadikan
mereka tidak dapat bersuara dan tidak dapat bergerak. Tidak ada satu pun yang
tersisa dari mereka.
Begitulah akhir kisah yang dialami oleh penduduk yang mengingkari
Para Rasulnya. Nabi Muhammad mempersamakan kisah
tersebut dengan peristiwa yang dialami sahabat beliau ‘Urwah bin mas’ud. Beliau
adalah seorang penduduk kota Thaif yang memeluk islam pada tahun kesembilan
kenabian. Setelah memeluk islam, beliau kembali ke kota tersebut untuk
menyebarkan dakwah karena memang Thaif masih menyembah berhala. Di sana beliau
mengunjungi berhala-berhala itu, yaitu Latta dan Uzza sambil melecehkannya.Langsung
saja penduduk Thaif marah lalu ‘Urwah bin Mas’ud berseru: “Peluklah agama islam
agar kalian selamat” tetapi salah seorang memanahnya dan mengenai urat nadi di
lengannya sehingga beliau gugur. Nabi bersabda “dia seperti seorang tokoh surat
yasin (Habib An-Najjar) yang berkata alangkah baiknya sekiranya kaumku
mengetahui apa yang menyebabkan tuhanku mengampuni aku dan menjadikan aku
termasuk orang-orang yang dimuliakan’ ” (HR. Abi Hatim)
Hikmah yang
Bisa Diambil
Setelah mengetahui dan meresapi kisah di atas, banyak yang hal
dapat kita ambil sebagai sebuah pelajaran berharga. Tidak perlu berpanjang
lebar saya menjelaskan, karena saya yakin kalian sendiri bisa menemukannya. Tetapi
tidak ada salahnya jika dipaparkan beberapa diantaranya yaitu:
1.
Dalam berdakwah
dibutuhkan massa yang banyak, tidak bisa jika dilakukan sendiri-sendiri.
bukankah Allah –dalam berbagai kesempatan- sering menganjurkan kita untuk
bersatu melawan kezaliman? Surat Ali Imron ayat 104 bahkan sering kali
dijadikan dalil untuk perlunya bergabung dengan organisasi supaya dakwah pun
lebih maksimal. Surat Yasin ayat 14 pun sama. Menceritakan bahwa perlunya banyak
massa untuk menegakkan islam. Diceritakan sudah ada dua utusan, ditambah lagi
utusan selanjutnya, ditambah lagi dengan munculnya Habib An-Najjar.
2.
Perlu saya
tekankan berkali-kali, dalam berdakwah tidak ada yang namanya paksaan.
Kewajiban kita sebagai pendakwah hanyalah menyampaikan (secara terus-menerus)
seperti yang tertera dalam ayat 17. Ayat lain seperti dalam surat Al-Baqarah
ayat 256 ‘tidak ada paksaan dalam
(menganut) agama islam’ pun berkata demikian.
3.
Ketika
berdakwah tidak dianjurkan meminta imbalan apapun (harta, jabatan, dan
sebagainya), tetapi bukan berarti harus menolak pemberian orang. Rasul pun
seperti tidak pernah sekali pun menolak pemberian orang. Upayakan setiap dakwah
kita disertai dengan niat yang tulus hanya ingin mendapat ridha Allah.
4.
Berdakwah
memang perlu ketegasan, tetapi tetap harus berlaku lemah lembut. Bahkan
usahakan jangan ada dendam atau perasaan benci terhadap mereka. Biarkan yang
ada hanyalah rasa cinta dalam diri sehingga tidak ada kesempatan untuk membenci
apapun. Contoh ini dapat kita lihat dari ucapan Habib An-Najjar, “alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui”.
Perhatikan! Padahal sudah jelas-jelas dia disakiti oleh umatnya, bahkan
dirajam. Mungkin kalau kita, akan mendoakan supaya umat itu mati terpuruk dalam
keadaan hina atau terkena bencana, berbeda dengan sikap Habib An-Najjar, ia
malah berharap jika umatnya mengetahui keadaannya, yang berarti ia berharap
supaya kaumnya diberi hidayah oleh Allah. Agaknya yang demikian patut di contoh
oleh aktivis dakwah.
5.
Salah satu
materi dakwah yang dapat disampaikan adalah tentang peristiwa umat terdahulu
supaya dapat menggugah hati. Seperti ‘bayangkan
jika kita melakukan anu seperti yang telah dilakukan oleh kaum anu, bisa jadi
Allah akan membalasnya dengan anu juga’
[1] Ibnu Katsir. (2010). Kisah Para Nabi dan Rasul. Jakarta:
Pustaka As-Sunnah, hlm. 403
[2] Abdullah Yusuf Ali. (1994). Quran Terjemah dan Tafsirannya. Bogor:
Pustaka Litera, hlm. 1030
[3] Quraish Shihab. (2002). Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera
Hati, hlm. 124
[4] Ibnu Katsir. (2010). Kisah Para Nabi dan Rasul. Jakarta:
Pustaka As-Sunnah, hlm. 403
[5] Op Cit, hlm. 127
[6] Lihat Quraish Shihab. (2002). Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera
Hati, hlm. 128
[7] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi.
(2009). Tafsir Alquran Al-Aisar.
Jakarta: Darus Sunnah, hlm. 160. Lihat juga Al-Qurthubi. (2009). Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka
Azzam, hlm. 37
[8] Quraish Shihab. (2002). Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera
Hati, hlm. 137
Komentar
Posting Komentar