D
|
ewasa
ini, setidaknya yang saya perhatikan langsung di kampus, para aktivis dakwah
sangat bersemangat bahkan menggebu-gebu dalam menyiarkan agama islam. Pada
umumnya mereka adalah orang yang gemar beribadah. Shalat wajib sering berjamaah
di masjid, sehabis itu melaksanakan shalat sunnah lalu membaca Alquran,
terkadang meluangkan waktu sejenak untuk menghafal ayat. Mereka juga rajin
shalat dhuha dan tahajud. Dalam bidang organisasi pun tidak pernah luput dari
aktivitasnya.
Menurut
saya ini adalah nilai plus bagi siapa
saja yang memandangnya dan memang sudah seharusnya para pendakwah menerapkan
ajaran islam dalam kehidupannya.
Hanya
saja, agak disayangkan dari aktivis dakwah (umumnya) -yang saya perhatikan-, kegemaran
dalam beribadah yang mereka tekuni tidak berbanding lurus dengan hal keilmuannya[1]
–bukan berarti saya sudah pintar- karena memang di Kampus yang saya geluti pada
umumnya mereka bukanlah berasal dari jurusan keagamaan. Kemungkinan mereka
hanya mendapatkan ilmu agama secara otodidak atau dari guru saat mereka aktif
di rohis SMA, yang terkadang akan menjerumuskan kepada pemahaman yang parsial.
Hal ini dapat terlihat dari perilaku keberagamaannya yang lebih mementingkan
hal-hal yang berupa fisik (kulit agama) dan kurang memahami esensinya seperti
memakai celana ¾ karena mereka beranggapan bahwa jika kita memakai celana
hingga melawati mata kaki akan masuk ke dalam neraka, mudah memandang orang
berbuat bid’ah, dan sebagainya.
Keadaan
yang demikian sungguh memprihatikankan sampai-sampai Syaikh Yusuf Qardawi
mengatakan:
“kekeliruan
yang seringkali dilakukan oleh
orang-orang yang menggeluti ilmu agama ini adalah bahwasanya mereka hanya
mengambang di permukaan (fisik) dan tidak turun menyelam ke dasarnya, karena
mereka tidak memiliki keahlian dalam berenang dan menyelam ke dasarnya untuk
mengambil mutiara dan batu mulianya. Mereka hanya disibukkan dengan hal-hal
yang ada di permukaan, sehingga tidak sempat mencari rahasia dan tujuan yang
sebenarnya. Mereka di lalaikan oleh perkara-perkara cabang saja (furu’) dan
bukan perkara-perkara yang utama. Mereka menampilkan agama Allah dan
hukum-hukum syariatnya atas hamba-hamba-Nya dalam bentuk yang bermacam-macam
(ribet), dan tidak menampilkan dalam bentuk yang universal. Bentuk-bentuk itu
tidak dikaitkan dengan satu sebab yang menyatukannya, sehingga syariat agama
Allah hanya tampak seperti yang diucapkan oleh lidah mereka, dan yang ditulis
oleh pena mereka. Syariah seakan-akan tidak mampu mewujudkan maslahat bagi
makhluk Allah, padahal kegagalan itu sebenarnya bukan pada syariah, tetapi pada
pemahaman mereka yang memutuskan keterkaitan antara sebagian hukum dengan
sebagian yang lain. Mereka tidak peduli dengan tindakan mereka memisahkan
antara hal-hal yang sama, atau sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh
syariah.”[2]
Beliau
melajutkan, “seringkali penyimpangan pada hal-hal yang lahiriah seperti ini
mempersulit apa-apa yang sebenarnya telah diluaskan oleh Allah, mempersulit
hal-hal yang dipermudah oleh syariat, membuat stagnansi persoalan yang
sepatutnya dapat dikembangkan, serta mengikat hal-hal yang seharusnya dapat
diperbarui dan dikembangkan.”
Untuk
itu, ilmu yang memadai menjadi syarat mutlak bagi para aktivis dakwah kampus.
Mari
kita merujuk kata ilmu dalam Alquran. Ilmu dengan berbagai bentuknya terulang
sebanyak 854 kali dalam Alquran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek
pengetahuan. ‘Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan. Perhatikan misalnya
‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘alamat (alamat) dan sebagainya yang
kesemuanya menunjukkan kejelasan. Bukankah kita akan melihat dengan jelas orang
yang bibirnya sumbing dibanding dengan yang tidak? [3]
Quraish
Shihab[4]
memaparkan bahwa manusia menurut Alquran, memiliki potensi untuk meraih ilmu
dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu, banyak sekali ayat yang
memerintahkan manusia supaya berilmu dan bahkan Allah memberikan kedudukan yang
tinggi bagi orang-orang yang berilmu. Dalam Alquran Allah berfirman,
*öNs9r&ts?n<Î)úïÏ%©!$#(#qà)sù$tRtbqä9qà)tÞOÎgÏRºuq÷z\}tûïÏ%©!$#(#rãxÿx.ô`ÏBÈ@÷dr&É=»tGÅ3ø9$#÷ûÈõs9óOçFô_Ì÷zé& Æy_ã÷uZs9öNä3yètBwurßìÏÜçRóOä3Ïù#´tnr&#Yt/r&bÎ)uróOçFù=Ï?qè%ö/ä3¯RuÝÇYuZs9ª!$#urßpkô¶töNåk¨XÎ)tbqç/É»s3s9ÇÊÊÈ
“wahai orang-orang yang beriman! Apabila
dikatakan kepadamu, ‘berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’ maka
lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan, ‘Berdirilah kamu’ maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat
(derajat) orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa
yang kamu kerjakan” (QS.
Al-Mujadilah [59]: 11)
Dalam
kaitannya dengan pembahasan ini, para aktivis dakwah mutlak memiliki ilmu
keagamaan yang memadai. Seperti ilmu ulumul quran, ulumul hadits, ushul fikih,
sejarah dan lain sebagainya, tidak lupa pula ilmu mengenai metode berdakwah
yang baik, sehingga dengan materi dan metode yang tepat maka insyaallah dakwah pun akan diterima.
Akan
sangat beresiko jika berdakwah tanpa memiliki ilmu yang memadai, yang
ditakutkan akan ‘memperkosa’ ayat untuk membenarkan pemahamannya. Ini sering
terjadi seperti yang telah dilakukan oleh para teroris yang kurang memahami
ayat –karena minimnya ilmu-. Mereka membenarkan tindakan meneror bahkan
kekerasan dengan menggunakan dalil-dalil Alquran secara parsial.
Betapa
pun, ilmu hanya akan menjadi sebuah wacana-wacana belaka jika tidak
direalisasikan dalam kehidupan. Itu bagaikan orang cerdas yang berdiam diri
(lepas tangan) di dalam kamar, padahal dia tahu di luar sana ada banyak orang
yang bodoh.
Di
sisi lain, Quraish Shihab menyayangkan keadaan umat saat ini yang menurutnya
ada golongan yang memiliki ilmu tetapi tidak mampu menciptakan kebahagiaan
untuk manusia. Mereka hanya dapat menciptakan pribadi-pribadi manusia yang
bersifat satu dimensi, sehingga walaupun manusia itu mampu berbuat segala
sesuatu, namun sering bertindak tidak bijaksana, bagaikan seorang pemabuk yang
memegang sebilah pedang, atau seorang pencuri yang memperoleh secercah cahaya
di tengah gelapnya malam.[5]
Ahmad
W Pratikya[6]
–tokoh pemerhati islam- berharap munculnya generasi-generasi Cendikiawan muslim
moderat, yang secara sederhana dapat dilukiskan sebagai muslim yang disamping
mempunyai kualitas perilaku cendikia, juga beriman dan senantiasa commited pada
agama islam sebagai pandangan hidupnya. Sebutanulul albab mungkin
ungkapan qurani yang paling tepat dalam melukiskan sifat-sifat cendikiawan
muslim. Pertama, ulul albab ialah mereka yang mampu menatap dan
menafsirkan tanda-tanda atau ayat kekuasaan Allah di balik ciptaan-Nya
(QS.Ali-imran [3]: 190-191). Kedua, ulul albab ialah mereka yang
mempunyai kearifan (al-hikmah, ‘wisdom’) yang tinggi dalam menatap, menafsirkan
dan merespon persoalan yang muncul pada kehidupannya beriringan dengan rasa
tanggung jawab kepada Allah.
Saya
pikir para ahli-ahli pendidikan Islam lainnya pun sepakat bahwa diperlukan
generasi-generasi yang tidak hanya cerdas pengetahuannya, tetapi juga ahli
dalam penerapannya. Hal ini senada dengan hadits Rasulullah saw, “orang yang paling baik diantara kalian
adalah orang yang paling bermanfaat” []
[1] Baca Munawar Rahmat. (2012). Corak Keberagamaan Mahasiswa. Bandung.
[Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim Vol 10 No 1].Dalam hasil penelitiannya
yang dilakukan di UPI Bandung, mayoritas para aktivis dakwah bercorak fundamentalis.
[2] Yusuf Qardawi.
(1996). Fikih Prioritas: Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Alquran dan
As-Sunnah. Jakarta: Robbani Press
[3] Quraish
Shihab. (1996). Wawasan Alquran: Tafsir
maudhu’i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan, hlm.426
[4] Ibid, hlm. 428
[5] Quraish Shihab. (2013). Membumikan Alquran. Bandung: Mizan, hlm.
97
[6] Adi Sasono, dkk. (1994). Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca
Diri. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 4
Komentar
Posting Komentar