Tidak
ada perbedaan pendapat di kalangan umat islam menyangkut kebenaran sumber
Alquran. Semua sepakat meyakini bahwa redaksi ayat-ayat Alquran yang terhimpun
dalam mushaf dan di baca oleh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia saat ini
adalah sama tanpa sedikit perbedaan pun dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad
saw dari Allah melalui Malaikat Jibril.
Hanya saja yang menjadi persoalan ialah menyangkut kandungan makna
redaksi ayat-ayat Alquran. [1]
Dalamilmu
tafsir, ayat Alquran dapat dibedakan menjadi dua yakni ayat yang mengandung
makna Qath’iy dan ada ayat yang
mengandung makna Dzanniy. Secara
garis besar ayat Qath’iy adalah ayat
yang menunjukkan kepada makna yang bisa dipahami secara tertentu, tidak ada
kemungkinan menerima ta’wil (pengalihan
interpretasi), tidak ada tempat bagi pemahaman arti selain itu. Biasanya
memiliki ciri ‘angka-angka’ yang terdapat dalam Alquran. Sebagaimana firman
Allah mengenai Keesaan wujud-Nya:
ö@è%uqèdª!$#îymr&ÇÊÈ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Dialah Allah, Yang
Maha Esa’ ” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1)
Ayat-Ayat
waris seperti, “Allah mensyariatkan
(mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu)
bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak
perempuan.” (QS. An-Nisa [4]: 11)
Juga
ayat yang berbicara mengenai hukuman bagi para pezina, “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari
keduanya seratus kali, dan janganlah
merasa kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum)
Allah…”(QS. An-Nur [24]: 2)
Dari
kesemua dalil di atas, kita agaknya sangat sulit untuk menginterpretasi dengan
makna yang lain, karena sudah sangat jelas. Hanya saja, dalil Qath’iy ini jumlahnya sangat sedikit.
Sedangkan
ayat Dzanniy adalah ayat yang
menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan
dari makna asalnya kepada makna yang lain. Saya beri contoh, seperti pemahaman
mengenai arti dari kata quru’ dalam
surat Al-Baqarah ayat 228, “Dan para
istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’ ”
Tiga quru’ oleh
beberapa ulama seperti mazhab Imam Hanafi, dipahami dalam arti tiga kali haid.
Jika demikian, yang dicerai oleh suaminya, sedang ia telah pernah bercampur
dengannya dan dalam saat yang sama dia belum memasuki masa menopause, setelah
dicerai tidak boleh kawin dengan pria lain kecuali setelah mengalami tiga kali
haid.[2]
Pandangan
ini berbeda dengan mazhab Imam Malik dan Imam Syafi’i yang memahami tiga quru’ dalam arti tiga kali suci.
Suci yang dimaksud di sini adalah masa antara dua kali haid. [3]
Perbedaan
pendapat ini hasilnya terlihat pada saat datangnya haid ketiga. Yang
berpendapat bahwa quru adalah ‘suci’,
selesai sudah iddah atau masa tunggunya saat itu, tetapi yang memahaminya dalam
arti ‘haid’, masa tunggunya masih berlanjut sampai selesainya haid ketiga. [4]
Yang
memahaminya dalam arti ‘suci’ memberi kemudahan kepada wanita, di samping
memberi tenggang waktu pengangguhan ketika itu, tetapi yang memahaminya dalam
arti ‘haid’lebih memperpanjang lagi waktu penundaan bagi suami karena
perceraian tidak dilakukan kecuali dalam keadaan wanita suci.[5]
Ayat-ayat
dzanniy dilalah (banyak makna)adalah
mayoritas yang ada dalam Alquran. Sebagaimana Muhammad Arkoun (Shihab, 2013:
212) mengatakan bahwa kitab suci itu mengandung kemungkinan makna yang tidak
terbatas. Ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat yang
dasariah, eksistensi yang absolut, dengan demikian selalu terbuka, tak pernah
tetap dan tertutup hanya pada satu penafsiran saja.[6]
Sehingga di sini lah perlunya kita bertoleransi, terutama bagi saudara-saudara
ku aktivis dakwah yang pastinya melihat aneka perbedaan di lingkungan kampus.
Keragaman dan perbedaan dapat
menjadi rahmat selama dialog dan syarat-syaratnya terpenuhi. Karena itu,
perbedaan tidak otomatis menjadi buruk atau bencana. Ia menjadi bencana jika
perbedaan mengarah untuk menjadi perselisihan sambil masing-masing menganggap
dirinya atau kelompoknya memonopoli kebenaran sedang selain dirinya atau
kelompoknya memonopoli kesalahan. Oleh karena itu, kendati perbedaan adalah
keniscayaan, pertemuan dan persatuan tetap harus dapat diwujudkan.[7]
Meskipun demikian, bukan berarti
kita menoleransi semua perbedaan. Selama perbedaan tersebut hanya menyangkut
masalah-masalah yang disentuh oleh ijtihad
(pemikiran), baik yang masalah akidah maupun syariat, atau politik, dan
bukan menyangkut ushuluddin (prinsip-prinsip
agama) sehingga walaupun berbeda tidak akan mengakibatkan kekufuran bagi
penganutnya. [8]
Jika kita melihat sejarah setelah
masa sahabat, akan ditemukan berbagai macam perbedaan yang tidak mengakibatkan
kekufuran, seperti mereka tidak berselisih pendapat tentang wujud Tuhan dan
keesaan Allah Swt, tetapi mengenai sifat-Nya, apakah Dia berdiri sendiri pada
dzat-Nya. Tentang kesucian dan keterpeliharaan Nabi saw dari dosa sejak
lahirnya ataukah semenjak diutus saja. Tidak pula dari segi kebenaran Alquran,
tetapi dari segi apakah dia makhluk atau qadim,
sebagaimana bukan menyangkut keniscayaan hari kiamat, tetapi apakah yang
dibangkitkan itu tubuh kasar manusia bersama jiwanya atau jiwanya saja, dan
lain sebagainya. [9]
Agaknya
tidak salah jika saya memaparkan salah satu contoh keberagaman yang patut
ditoleransi, yakni keberagaman dalam rincian ibadah shalat. Semua umat islam
sepakat mengenai wajibnya shalat, hanya saja mereka –para ulama- berbeda
pendapat mengenai perinciannya, yang kesemuanya berdampak kepada keberagaman
para pengikutnya –seperti kita-. Untuk itu akan saya paparkan beberapa pendapat
ulama mengenai perincian shalat.
Syaikh
Kabir yang dikutip oleh Ulama Indonesia, Syaikh Abu Bakar Atceh (1977: 79)
menyatakan bahwa, semua mazhab sepakat tentang hukum orang yang meninggalkan
shalat karena malas, atau karena meringan-ringankan tentang kewajibannya,
menurut Syafi’i, Maliki, dan Hanbali dibunuh, tetapi menurut Hanafi hanya
dipenjarakan sampai dia mau shalat. [10]
Tetapi
ada riwayat lain yang berasal dari kitab Al-Manar
karangan Rasyid Ridha, beliau mengutip dari As-Subki[11]
sebagai berikut:
Syafi’i:
apakah anda berpendapat bahwa seseorang tidak shalat itu kafir?
Ahmad:
Ya, benar
Syafi’i:
kalau demikian, bagaimana cara yang harus ditempuhnya untuk kembali memeluk
islam?
Ahmad:
dengan jalan mengucapkan kalimat syahadat
Syafi’i:
tapi mengucapkan kalimat syahadat tidak pernah ditinggalkanya, walaupun dalam keadaan
tidak shalat
Ahmad:
walaupun demikian ia tetap harus mengucapkannya agar ia kembali menjadi muslim
Syafi’i:
kalau dia shalat dalam keadaannya sebagai kafir, apakah shalatnya diterima?
Ahmad:
??? (Ahmad tidak menjawab)
Menurut
Shihab hal ini bisa menjadi bukti bahwa yang bersangkutan tetap muslim, walau
tidak shalat. Tidak perlu menganggap dia kafir, tetapi bisa menggunakan istilah
lain seperti muslim fasik, muslim yang berdosa, muslim yang dzalim.[12]
Saya
sendiri setuju dengan pendapat Quraish Shihab, karena kita telah tahu dalam
hadits Rasul yang menyatakan bahwa barangsiapa yang telah bersyahadat maka
haram darah dan hartanya. Dan kemungkinan, maksud dari pandangan para ulama
seperti Imam Ahmad dan Imam Malik itu dimaksudkan sebagai sebuah peringatan
keras kepada orang yang tidak mau shalat.
Mengenai Niat
Niat
adalah kebulatan hati untuk melakukan ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah
semata. Inilah hakikat niat dan sekaligus di sini terdapat keikhlasan.
Kebulatan hati ini dapat terpenuhi walau tidak diucapkan. Karena itu, niat
tidak harus diucapkan.[13]
Disepakati
oleh para ulama bahwa niat dalam shalat hukumnya wajib, berdasarkan firman
Allah dalam Alquran, “Padahal mereka
tidak diperintah kecuali beribadah kepada Allah dalam keadaan ikhlas memurnikan
ketaatan kepada-Nya…” (QS.
Al-Bayyinah [98]: 5) dan hadits Rasulullah yang sangat popular, “Sesungguhnya sahnya amal adalah adanya niat”[14]
Menurut
Mazhab Hanafi dan Hanbali dan pandangan mayoritas ulama Maliki, niat shalat
adalah syarat dalam pengertian “tidak termasuk bagian dari shalat”. Sementara
itu, dalam mazhab Syafi’i dan sebagian ulama Maliki, niat shalat wajib
terpenuhi dalam shalat, yakni pada awal shalat. Karena itu mereka menamainya
rukun.[15]
Mazhab
Abu Hanifah mensyaratkan bersambungnya niat dengan takbiratul ihram. Selain aktivitas berkenaan dengan shalat, tidak
boleh ada sesuatu pun yang memisahkan antara niat dan takbir itu. Misalnya
makan, minum, dan sebagainya. Kalau yang memisahkannya adalah amalan seperti
berwudhu, atau berjalan menuju masjid itu masih berlaku, dan yang bersangkutan
dapat mengerjakan shalat dengan mengucapkan takbir, meskipun ketika itu dia
tidak berniat lagi. Anda melihat bahwa mazhab ini tidak mengharuskan niat
bersamaan dengan takbir. Mazhab Hanbali juga mempunyai pandangan yang serupa
dengan itu. Mereka hanya menggarisbawahi bahwa niat itu boleh dilakukan sebelum
takbir, asal tidak ada tenggang waktu yang lama antara niat dan takbir. [16]
Mereka
beralasan bahwa menyatukan niat dengan takbir merupakan sesuatu yang
menyulitkan. Mereka juga berasalan bahwa awal shalat adalah bagian dari shalat.
Mazhab Maliki mewajibkan orang yang shalat untuk menghadirkan niatnya saat takbiratul ihram, atau sesaat singkat
sebelumnya. [17]
Sementara
itu para ulama mazhab Syafi’i mewajibkan terlaksananya niat bersamaan dengan
aktivitas shalat, sekurang-kurangnya di awal shalat. Dalam hal ini, yang
dimaksud adalah saat takbiratul ihram. Sebab
yang disebut “niat” adalah maksud hati yang berbarengan dengan aktivitas. Jika
maksud itu dihadirkan sebelum aktivitas, maka yang demikian itu bukanlah niat,
melainkan azam (tekat). Sementara itu
yang dituntut adalah niat. Karena itu, menurut pendapat sebagian ulama ini,
jika seorang melaksanakan shalat dengan mengucapkan niat, misalnya “saya
bernuat shalat, Allahu Akbar, saya
berniat” maka ucapan “saya berniat” yang kedua ini membatalkan shalatnya,
karena yang demikian ini adalah ucapan yang tidak dibenarkan dalam shalat.[18]
Bacaan Al-Fatihah Bagi Makmum
Dalam
buku Fikih Shalat Empat Mazhab karangan
Abdul Qadir Ar-Rahbawi (tt: 209) memaparkan bahwa ulama Hanafiyah mengatakan
bahwa seorang makmum tidak wajib baginya membaca Al-Fatihah. Hal tersebut
berdasarkan firman Allah,
#sÎ)urÌè%ãb#uäöà)ø9$#(#qãèÏJtGó$$sù¼çms9(#qçFÅÁRr&uröNä3ª=yès9tbqçHxqöè?ÇËÉÍÈ
“Dan apabila dibacakan Alquran, maka
dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al-A’raf [7]: 204).
Baihaqi
meriwayatkan dari Imam Ahmad. Ia berkata: orang-orang sudah ijma’ bahwa ayat
ini tentang shalat. Dan ia meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Nabi saw membaca
dalam shalat, lalu ia mendengar bacaan seorang pemuda dari Ansar, maka turunlah
ayat ini.[19]
Rasulullah
juga bersabda, “siapa yang shalat di
belakang imam maka bacaan imam adalah bacaannya juga”, hadits lainnya,
dalam shalat fardhu bila imam membacanya dengan keras, “sesungguhnya imam itu dijadikan hanyalah untuk diikuti. Maka apabila
imam bertakbir, bertakbirlah kalian; dan apabila imam membaca (Alquran),
dengarkanlah (bacaannya) dengan penuh perhatian dan tenang” (HR. Muslim).
Dan
dikuatkan lagi oleh riwayat yang menceritakan bahwa seorang laki-laki membaca
dibelakang Rasulullah saw pada shalat dzhuhur atau shalat asar. Maka salah
seorang dari sahabat Rasul melarangnya membaca dalam shalat. Sesudah selesai
shalat ia datang kepada orang yang melarangnya dan menanyakan: “mengapa engkau
melarangku membacanya dibelakang Rasulullah?” lalu keduanya bertengkar, hingga
disampaikan orang kepada Rasulullah. Maka beliau bersabda: “barangsiapa
shalat dibelakang imam…” kisah ini melarang membaca ketika dalam shalat
sir. Apabila telah tsabit larangan pada shalat sir, maka larangan pada shalat
jahr adalah lebih utama. Hadits ini telah dirafa’ oleh sejumlah ahli hadits
dengan jalan yang shahih.[20]
Bahkan
ulama Hanafiyah mengatakan bahwa makruh
tahrim (mendekati haram) bagi makmum membaca ayat dibelakang imam.
Sementara menurut ulama Maliki dan Hanbali disunnahkan bagi makmum membaca ayat
di belakang imam dengan bacaan sir (pelan),
dan ketika imam sedang diam dalam shalat yang bacaannya keras. [21]
Sementara
itu ulama Syafi’i berpendapat bahwa membaca Al-Fatihah adalah fardhu bagi
makmum. Mereka menyadarkan kepada hadits riwayat dari Ubadah bin Shamit, dia
berkata: “suatu ketika kami shalat
bersama Rasulullah saw pada sebagian shalat yang bacaan shalatnya keras. Ketika
selesai, beliau menghadapkan wajah kearah kami dan berkata: ‘apakah kalian
membaca ketika aku mengeraskan suaraku?’ sebagian dari kami menjawab: ‘ya, kami
telah melakukannya’ Beliau bersabda, ‘janganlah begitu, janganlah kalian
membaca sesuatu ketika aku mengeraskan suara kecuali (membaca) ummul Qur’an
(Al-Fatihah)’ ” (HR. Abu Daud).[22]
Dikecualikan
dari kewajiban membaca Al-Fatihah bagi makmum masbuq (telat), yaitu ketika tidak sempat membaca seluruh atau
sebagiannya, maka imam telah menanggung bacaan yang terlewatkan tersebut. [23]
Seputar Bacaan Basmalah
Menurut
ulama Syafi’i basmalah pada
Al-Fatihah adalah salah satu ayat dalam surat tersebut. Oleh karena itu, satu
huruf saja dari seluruh ayat tersebut tertinggal, maka shalatnya tidak sah.
Ketika shalat yang dilakukan adalah yang bacaannya keras, maka basmalah dibaca dengan keras, dan basmalah dibaca pelan ketika shalat yang
dilakukan adalah shalat yang bacaannya pelan (sir). Mereka menyandarkan pendapatnya dari riwayat Nu’aim bin
Al-Mujammir, dia berkata:
“suatu ketika aku shalat di belakang abu
Hurairah, maka dia membaca bismillahirahmanirahim. Kemudian membaca ummul quran
(al-Fatihah) sampai waladh dhallin dia berkata: amin. Dia juga mengucapkan
allahu akbar dalam setiap kali sujud dan berdiri dari duduk. Ketika selesai
salam dia berkata: demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya,
sesungguhnya aku telah mempraktikkan kepada kalian shalatnya Rasulullah saw.”
(HR. An’Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, dan dan Ibnu Hibban)[24]
Ulama
selaian Syafi’iyyah berpendapat bahwa basmalah
bukanlah bagian dari surat Al-Fatihah kecuali ulama Hanafiyah dan
Hanabilah. Menurut mereka sunnah hukumnya membaca basmalah secara sir, baik
dalam shalat yang bacaannya keras maupun pelan. Sementara itu, dalam pandangan
ulama Maliki membaca basmalah hukumnya
makruh, kecuali jika bermaksud untuk keluar dari persoalan khilafiyah (yang masih diperdebatkan). Hal ini berdasarkan riwayat
dari Anas: “suatu ketika Nabi saw, Abu
Bakar, dan Umar memulai bacaan shalat dengan ‘alhamdulillahi rabbil alamin”
(Muttafaqun alaih). Imam Muslim menambahkan: “mereka tidak menyebutkan bismillahi rahmani rahimi pada awal dan akhir
bacaan.”[25]
Sebenarnya
masih banyak lagi keberagaman dalam ibadah shalat hingga tahiyyat akhir. Tapi
bukan disini tempatnya untuk merinci semuanya. Apa yang saya paparkan di atas
hanya untuk memberikan gambaran bahwa perbedaan yang menyangkut hal-hal yang
bersifat dzanniy (dugaan kuat), bisa
atau harus ditoleransi oleh semua pihak. Islam memberikan kelonggaran pada apa
yang disebut tanawwu’ul ibadah (keragaman
cara ibadah).
Agaknya
keadaan di atas dapat dipahami dari semangat sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “sesungguhnya agama
itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan
(semakin berat dan sulit). Maka berlaku luruslah kalian, mendekatlah (kepada
yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolonglah dengan Al-Ghadwah
(berangkat di awal pagi) dan Ar-Ruhah (berangkat seteleh dzuhur) dan sesuatu
dari Ad-Duljah (berangkat di waktu malam).” (HR. Bukhari)
Begitulah
sejarah peradaban islam –jika kita membaca tarikh tasyri’- telah memberikan
gambaran mengenai khazanah keilmuan yang sangat berharga untuk kita tiru dan
pelajari, bukan malah menjustifikasi diri kitalah yang paling benar. Sikap
demikian lah yang perlu tertanam dalam jiwa para aktivis dakwah untuk membangun
kehidupan yang lebih damai, penuh cinta kasih, dan toleransi. []
[1] Quraish Shihab. (2013). Membumikan Alquran. Bandung: Mizan, hlm.
211
[2]Quraish Shihab. (2011). Tafsir Al-Mishbah Vol 1. Jakarta:
Lentera Hati, hlm. 593
[3]Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Quraish Shihab. (2013). Membumikan Alquran. Bandung: Mizan, hlm.
212
[7] Quraish Shihab. (2014). Sunnah Syiah Bergandengan Tangan!
Mungkinkah?. Jakarta: Lentera Hati, hlm.29
[8] Ibid, hlm. 35
[9] Ibid
[10] Abu Bakar Atceh. (1977). Ilmu Fiqh Islam dalam Lima Mazhab. Jakarta:
Islamic Research Institute, hlm. 79
[11] Quraish Shihab, dkk. (2012). Menuju Persatuan Umat: Pandangan Intelektual
Muslim Indonesia. Bandung: Mizan, hlm. 148
[12] Ibid, hlm. 149
[13] Quraish Shihab. (2014). Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman
yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati, hlm. 35
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid, hlm. 36
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Mahmud Syaltut dan M.Ali
As-Sajis. (1973). Al-Muqaranatul Mazahib.
Jakarta: Bulan Bintang
[20] Ibid.
[21] Op Cit, hlm. 210
[22] Ibid, hlm. 210
[23] Ibid, hlm. 210
[24] Ibid, hlm. 210
[25] Ibid, hlm. 212
Komentar
Posting Komentar