Langsung ke konten utama

Merajut Kembali Cinta Kasih Antar Umat Beriman



Merajut Kembali Cinta Kasih Antar Umat Beriman

Telah kita ketahui bersama bahwa agama di Turunkan oleh Tuhan tiada lain supaya terlimpah curah rahmat kasih sayang serta kedamaian di muka bumi[1]. Jadi kita sebagai umat yang beragama sudah sepatutnya untuk mengindahkan nilai-nilai tersebut. Jika masih ada orang atau segolongan yang membuat keributan, penindasan, ketakutan, dan kekacauan sudah dipastikan bahwa dia bukan orang yang beragama walaupun secara lahiriah mungkin ia memeluk agama tertentu.
Indonesia adalah Negara dimana warganya menganut beragam agama. Ada Hindu, Budha, Kong Hu Chu, Katolik, Protestan, dan Islam. Banyak yang mengatakan bahwa walaupun disini terdapat berbagai macam agama, tetapi mereka tetap bisa hidup dengan aman dan damai. Tidak ada konflik-konflik atas nama agama, terlebih kodrat masyarakat Indonesia yang cenderung memiliki sikap penyuka kedamaian, tidak suka kekerasan dan toleransi yang tinggi. Salah satu contoh Islam bisa masuk secara damai -tanpa peperangan- ke Indonesia yang pada saat itu banyak rakyatnya yang menganut agama Hindu. 
Sayangnya kerukunan umat beragama di Indonesia saat ini sedang diuji dari berbagai arah. Konflik-konflik yang sedang terjadi di luar negeri masuk dan menyebar ke Indonesia selain itu masuk pula pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan norma bangsa kita. Hal ini diperparah pula dengan kehadiran beberapa oknum yang sering mengatasnamakan agama, padahal kasus tersebut hanyalah masalah politik, ekonomi, dan sebagainya sehingga akhirnya terjadilah keretakan hubungan antar umat beragama di Indonesia. Seperti yang dicatat oleh Setara Institute mengenai insiden penolakan atas pembangunan gereja HKBP yang berujung pada penusukan pendeta dan penatua di Desa Ciketing, Bekasi, 12 September 2010. Selanjutnya perusakan rumah dan masjid di Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, Bogor, 2 Oktober 2010. Baru-baru ini yang masih sangat hangat dalam perbincangan internasional, mengenai kehadiran ISIS dan Boko Haram yang sangat mengecewakan penganut agama non-islam sekaligus menyakiti hati masyarakat muslim itu sendiri atas kekerasan yang telah mereka lakukan. Ada juga isu-isu bahwa Negara Perancis telah melarang wanita muslim di negaranya untuk memakai jilbab sehingga menyebabkan kemarahan umat muslim di dunia. Ada negara eropa yang membolehkan pemakaian jilbab, tapi susah mendapat pekerjaan. Hal lain yang paling miris ialah adanya partai yang mengatasnamakan agama, merasa pembela agama Tuhan, ternyata malah melakukan korupsi dan masih banyak lagi kasus-kasus lain. Data-data di atas menunjukkan sedikit dari banyaknya kejadian bagaimana masyarakat Indonesia yang dahulunya memiliki jiwa toleransi lambat laun berubah menjadi ganas.
Akankah kita –selaku umat beragama- membiarkan saja keadaan berlalu seperti ini? Adakah jiwa-jiwa yang terpanggil untuk membangun kembali kepercayaan dan kasih sayang yang dahulu terajut dengan indah?
Sepertinya benih-benih harapan telah muncul kembali dengan kehadiran sekelompok orang yang peduli akan agamanya, yang peduli akan bangsanya, dan yang peduli akan nasib anak cucunya. Mereka bergerak serentak dengan membawa segenggam keyakinan, mengurai kembali benang-benang yang kusut, tiada lain untuk terciptanya kehidupan yang penuh dengan kedamaian di dalam keberagaman. Mereka adalah pemuda pemudi Muslim dan Nasrani yang tergabung dalam beberapa organisasi pencinta kedamaian umat beragama.
Ada beberapa organisasi yang saat ini saya ketahui begitu concern terhadap masalah-masalah keagamaan, diantaranya Initiative of Change Indonesia, Peace Generation, dan Young Interfaith Peacemaker Indonesia. Alhamdulillah, saya termasuk di dalam salah satu organisasi tersebut.
Di ruang yang terbatas ini, saya hanya akan menceritakan salah satu pengalaman indah saya ketika ikut dalam kegiatan Peace Generation beberapa bulan yang lalu.
Sedikit berbeda dengan training-training yang biasa dilakukan oleh Peace Generation, saya mengikuti training secara khusus (special) karena bergabung dengan para peserta dari kalangan mahasiswa Amerika. Mereka semua berasal dari Southern Adventist University. Memang, dari segi konten tetap sama dengan training Peace Generation pada umumnya hanya saja semuanya full english. Di training inilah saya benar-benar merasa tertantang, bukan hanya karena lawan bicara saya orang bule, tetapi juga karena disana hanya ada sedikit mahasiswa asli Indonesianya, mungkin hanya empat orang itupun satu diantaranya beragama Nasrani, selain dari kami sudah dipastikan seluruh mahasiswa dari Amerika beragama Nasrani yang jumlahnya kurang lebih dua puluh orang. Di sana saya benar-benar belajar menjadi seorang minoritas dan ingin keluar dari zona nyaman kemusliman saya.
Hal lain yang tak kalah menantangnya ialah diantara kami memiliki budaya, kebiasaan, dan pola pikir yang sangat berbeda. Budaya orang Barat vis a vis budaya orang Timur. Disanalah kami benar-benar dilatih untuk memiliki keterbukaan diantara sesama, terlebih mengenai permasalahan agama yang biasanya sangat sulit untuk disinggung, sebab katanya terlalu sensitif.
Kegiatan berlangsung selama dua hari di salah satu gedung Universitas Advent Indonesia, Bandung. Disana, dari pagi hingga sore kami belajar bersama mengenai dya belas nilai dasar perdamaian dengan penuh gembrot (gembira dan berbobot). Adapun dua belas nilai-nilai tersebut ialah menerima diri (proud to be me), prasangka (no suspicious no prejudice), perbedaan etnis (different culture but still friends), perbedaan agama (different faith but not enemies), perbedaan jenis kelamin (male and female bot are human), perbedaan status ekonomi (rich but not poor, poor but not embarrassed), perbedaan kelompok atau geng (gentlemen don’t need to be gangsters), keanekaragaman (the beauty of diversity), konflik (conflict can help you grow), menolak kekerasan (use the brain not your brawn), mengakui kesalahan (not too proud to admit mistake), memberi maaf (don’t be stingy when forgiving others).
Kedua belas nilai dasar ini benar-benar telah membuka cara berfikir saya yang dulu masih tertutup, kaku dan rigit. Misalnya saja mengenai penerimaan terhadap diri sendiri. Sejak dahulu saya selalu bertanya-tanya mengapa Tuhan menciptakan saya begini begini, dengan begitu banyak kekurangan yang saya miliki, mengapa Tuhan memberikan saya orang tua yang begini begini, dan sebagainya. Tetapi setelah mendapat pembelajaran mengenai konsep penerimaan diri dari Peace Generation, perlahan-lahan saya menyadari bahwa semua pendapat saya itu salah, saya lebih memandang keburukan yang ada dari pada kebaikan yang telah Tuhan anugerahkan[2].
Nilai dasar lain yang benar-benar telah merubah cara pandang saya adalah mengenai prasangka. Dalam Alquran sendiri, Allah Swt telah mewanti-wanti kepada kita untuk menjaga diri dari sikap prasangka, Allah Swt berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.(QS. Al-Hujurat: [49]: 12)
Dalam kehidupan nyata, banyak prasangka-prasangka yang membuat hubungan umat Islam maupun Nasrani menjadi retak. Misalnya saja, umat Islam memandang bahwa orang-orang Kristen memiliki tiga Tuhan dan menyembah patung, orang-orang Kristen gemar melakukan kristenisasi dengan cara yang tidak etik seperti membagi-bagikan mie instan supaya warga disana  tertarik memeluk agamanya, orang-orang Kristen juga banyak yang hidupnya dihabiskan dengan berfoya-foya, minum minuman keras, bahkan berzina. Begitu pun sebaliknya, banyak prasangka-prasangka umat Nasrani yang ditujukan kepada umat Islam, seperti islam itu mengajarkan kekerasan, terror-meneror seperti perbuatan yang dilakukan seorang teroris, tidak ada toleransi, dan ditingkat terparah ada sebagian diantara mereka yang sampai phobia terhadap islam (islamophobia).
Permasalahan prasangka sudah menjadi masalah yang begitu besar dan berlarut-larut yang menyebabkan tiap pribadi memandang sinis lawan bicara yang berbeda dengannya. Maka dari itu team Peace Generation menyatakan bahwa solusi atau langkah awal dari penyelesaian masalah prasangka adalah memberanikan diri untuk memulai komunikasi. Dengan memulai komunikasi, tiap masing-masing pihak, baik dari Muslim maupun Nasrani sedikit demi sedikit akan timbul rasa saling memahami satu sama lain. Toh, banyak sekali kesamaan diantara kedua agama ini seperti sama-sama mengajarkan untuk mencintai Tuhan dan sama-sama  mengajarkan cinta kasih kepada sesama (loving God and loving neighbors).
Pelajaran mengenai tidak berprasangka (no prejudice) ini selanjutnya langsung saya praktikkan beberapa hari kemudian. Tepatnya pada hari Sabtu pagi, saya dan Tanti (seorang muslimah) diajak oleh mereka ke Gereja. Mereka ingin beribadah sedangkan kami hanya kesana untuk sekedar mengetahui apa saja yang mereka pelajari di dalam gereja. Jutaan prasangka saya coba hilangkan dan memberanikan diri untuk kesana. Alhasil, memang nilai-nilai yang diajarkan sama saja dengan apa yang diajarkan oleh para khatib di masjid, yaitu nilai-nilai kebaikan kepada Tuhan dan sesama. Walaupun saya tidak menutup mata dengan adanya perbedaan konsep Tuhan diantara kedua agama ini. Tetapi adanya perbedaan bukan berarti kita tidak bisa bersatu, apalagi harus saling berhadap-hadapan (bermusuhan). Tidak. Semua manusia adalah hamba-hamba Tuhan, kita harus menyayangi mereka jika kita merasa cinta dan sayang kepada Tuhan.  
Di hari sebelumnya, yaitu Jum’at, telah mahfum bahwa akan ada ritual ibadah besar-besaran yang dilakukan oleh umat Muslim di dunia. Ya, mereka akan melaksanakan ibadah shalat jum’at di masjid secara berjamaah. Begitu pun dengan saya. Maka saat hari mendekati waktu shalat, saya dan Mr.Raki (muslim Australia) bergegas untuk berkunjung ke masjid terdekat. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh keinginan dari seluruh Mahasiswa Amerika yang berkenan untuk kesana, baik yang perempuan maupun laki-laki. Setelah sedikit berbicang, akhirnya kami memutuskan untuk membolehkan mereka ke masjid, sedangkan perempuan diperbolehkan di waktu yang lain. Saya pribadi merasa takjub dengan keterbukaan mereka. Padahal kita telah mengetahui bahwa kebanyakan media di Amerika memojokkan Islam yang hal ini akhirnya berdampak kepada mind set masyarakatnnya. Tetapi mereka berbeda. Mereka memberanikan diri untuk terlibat langsung (observasi) di dalam lingkup Islam. Mereka tidak ingin termakan isu-isu yang masih belum jelas kebenarannya sembari membuang jauh-jauh rasa prasangka.
Setelah selesai shalat, saya bertanya bagaimana pendapat dan tanggapan mereka ketika berada di masjid. Semua jawabannya terkesan positif bahkan sebagian ada yang penasaran dan bertanya beberapa persoalan kepada saya.
Dari sepenggalangan cerita singkat ini diharapkan dapat memberikan harapan kembali kepada seluruh umat Muslim dan Nasrani untuk dapat saling memahami satu sama lain dan menciptakan kedamaian dunia bersama-sama.

Mari Memulainya
Semua orang pasti mengharapkan terciptanya perdamaian di muka bumi, mereka ingin hidup aman dan sejahtera, termasuk saya pribadi. Tidak mungkin bisa mencapai hidup yang aman dan sejahtera jika keadaan masyarakatnya penuh dengan konflik. Untuk itu dibutuhkan rencana yang baik guna meredam konflik-konflik tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menciptakan perdamaian di dunia, diantaranya:
a.       Mempelajari dan mempraktikkan 12 nilai dasar perdamaian
Mempelajari dan mempraktikkan 12 nilai dasar perdamaian menjadi syarat mutlak untuk terciptanya kedamaian. Saya yakin tiap-tiap agama mengajarkan kedua belas nilai tersebut. Misalnya saja mengenai menerima diri (syukur) merupakan tuntunan yang dianjurkan dalam Islam seperti yang tertera dalam surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat’ ”. Dilarangnya berprasangka buruk sudah termaktub dalam surat Al-Hujurat ayat 12. Mengenai ketinggian derajat umat manusia bukanlah dilihat dari segi fisiknya[3], melainkan dari tingginya ketakwaan kepada Allah Swt. Selanjutnya mengenai urusan agama sudah sangat jelas dalam Islam bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk suatu agama[4] dan mengenai keberagaman dan problem-problem dalam hidup, Allah Swt menyatakan bahwa itu bukanlah suatu penghalang, melainkan sebagai pembelajaran supaya dapat hidup lebih baik lagi (dewasa)[5]. Adapun mengenai tindakan kekerasan, sudah sangat gamblang hal itu sangat bertentangan dengan kepribadian Rasulullah Saw yang begitu mulia dan penuh cinta kasih sampai-sampai beliau dipuji oleh Allah Swt[6].  Terakhir, mengenai meminta maaf dan memaafkan. Memang, kedua nilai ini begitu berat untuk kita lakukan, karena biasanya seseorang yang telah melakukan kesalahan akan berusaha menutup diri seraya tidak mau mengakui kesalahannya, bahkan terkadang melemparkan kesalahan pribadi kepada orang lain. Tetapi jika kita benar-benar ingin menjadi seorang hamba yang taat, sudah seharusnya kita mengindahkan tuntunannya, begitu pun mengenai anjuran meminta maaf dan memaafkan. Rasulullah Saw sendiri yang sudah dinobatkan sebagai manusia yang maksum (terjaga dari dosa) setiap harinya tidak kurang seratus kali beristigfar kepada Allah. Di kisah yang lain, Rasulullah Saw memaafkan semua orang-orang penduduk Mekkah saat peristiwa fathul Mekkah. Hal ini beliau lakukan supaya dapat dijadikan teladan kepada umatnya untuk tidak malu mengakui kesalahan dan memberi maaf.
Belajar dan menyebarkan 12 nilai dasar ini dapat dilakukan minimal kepada diri sendiri terlebih dahulu. Bagaimana mungkin kita bisa menyebarkan atau menyuruh kebaikan sedangkan kita sendiri belum bisa berdamai dengan diri sendiri? Setelah kita dapat mempraktikkannya pada diri sendiri, atau setidaknya beriringan dengan itu, kita dapat menyebarkannya kepada pihak-pihak terdekat seperti keluarga dan sahabat.
Di sini saya ingin menekankan keluarga sebagai posisi yang begitu penting dalam membina kehidupan yang penuh kedamaian. Semua hal bermula dari keluarga, jika suasana di keluarga baik, insyaallah ke luar pun akan baik. Berarti di dalam keluarga, seorang pemimpin  -Bapak- harus dapat membimbing istri dan anak-anaknya ke jalan yang benar. Jika kehidupan di keluarga sudah baik, maka dengan sendirinya keluarga tersebut akan menjadi teladan dan diteladani oleh keluarga lain dan jika tarafnya sudah semakin jauh, maka akan tercipta masyarakat yang penuh kedamaian. Selain keluarga dan masyarakat, lembaga pendidikan pun memiliki peran yang begitu penting untuk mencetak generasi yang cinta kedamaian.

b.      Mengadakan Dialog
Jika poin pertama menekankan posisi pribadi atau kepala keluarga yang harus menjadi prionir perdamaian, maka di poin kedua ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Raja Juli Antoni[7], seorang Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity, upaya perdamaian dapat dicapai dengan adanya usaha membuka ruang-ruang dialog bagi tiap pemeluk agama. Beliau membagi-bagi ruang dialog menjadi tiga tingkatan. Tigkat pertama top-level of leadership dimana dialog dilakukan pada forum nasional atau internasional yang dilakukan oleh para ‘elit’ agama dan politik/pemerintahan. Saya melihat tahap pertama ini sudah banyak dilakukan, bahkan sangat gencar tapi sayang, efek langsungnya masih belum dirasakan oleh kalangan masyarakat grassroots. Tingkat kedua middle-range leadership dimana dialog diselenggarakan oleh kelompok civil society yang tidak memiliki hubungan formal dengan kekuasaan, biasanya mereka adalah para agamawan, akademisi, pendidik, dan sebagainya. Memang pada dekade belakangan tingkatan yang kedua ini sudah mulai gencar juga dengan adanya organisasi-organisasi non-government yang memberikan fasilitas ruang dialog antar agama dan syukurnya ditanggapi positif oleh kalangan muda. Banyak dari mereka yang tertarik dengan dialog semacam ini, karena mereka juga merasa harus bertanggung jawab serta berperan aktif menjaga perdamaian di bumi. Tingkatan kedua ini memiliki posisi yang strategis yang mana tingkatan ini berada di tengah-tengah antara kedudukan top-level of leadership dan grassroots leadership. Jadi, tingkatan kedua ini yang harus membumikan nilai-nilai dari hasil dialog top-level of leadership ke tingkatan grassroots leadership. Tingkat ketiga grassroots leadership dimana sebuah dialog benar-benar terjadi di kalangan masyarakat pada umumnya. Ketiga tingkatan ini harus benar-benar dapat memilah, memilih, memahami dan bersikap cerdas terhadap konflik-konflik agama yang terjadi belakangan, bahwa biasanya hal itu terjadi bukan karena murni faktor agama melainkan karena ada beberapa faktor seperti ekonomi ataupun politik yang berselimut di dalam agama sehingga masyarakat pun tidak berpagi-pagi untuk terpropokasi.
Akhirnya, dari semua dialog ini kita akan menghasilkan sebuah kata sepakat. Sepakat untuk di sepakati[8], dan ada juga sepakat untuk tidak di sepakati[9].
c.       Mengadakan Kerja sama
Kedamaian tidak bisa dicapai jika hanya dengan melakukan dialog tanpa ada sebuah upaya tindak lanjut. Banyak hal yang dapat dilakukan pasca dialog yang salah satunya ialah dengan mengadakan kerja sama lintas agama. Begitu luas ruang kerja sama yang dapat dilakukan mulai dari hal-hal kecil hingga yang terumit.
Contoh kerja sama lintas agama ialah memberantas kemiskinan, kebodohan, dan penyakit. Semua itu bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan yang memadai tanpa pandang bulu. Jika dirasakan berat untuk melakukan hal di atas, kita masih bisa melakukan hal lain yang lebih kecil tetapi efektif seperti memberikan hadiah kepada penganut agama yang berbeda. Fakta sejarah membuktikan bahwa dengan memberikan hadiah, hubungan antar sesama manusia pun dapat terjalin dengan baik. Dalam kitab Majma al-Zawahid karangan Al-Haitsami seperti yang dikutip oleh K.H Husein Muhammad[10] menyatakan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan:
“Kisra (gelar Raja Persia) memberi hadiah untuk Nabi dan beliau menerimanya. Kaisar (gelar Raja Roma) menghadiahi Nabi dan beliau menerimanya. Para Raja (al-Muluk) memberi Nabi hadiah dan beliau menerimanya.”

Pernyataan di atas dengan gamblang menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad Saw pun dengan senang hati menerima hadiah dari beberapa pembesar Negara. Kasus lain mencontohkan kalau Rasulullah juga sering memberikan hadiah kepada non-muslim.
Contoh kerja sama lain yang dapat dilakukan, dan ini yang menurut saya paling penting, yaitu bekerja sama untuk memberantas gaya hidup materialis hedonis. Masyarakat dunia dewasa ini sedang mengalami penyakit kronis[11] yang tidak bisa disembuhkan dengan obat-obatan tercanggih apapun kecuali obat ruhani, sedangkan bimbingan ruhani berada di ladang agama. Untuk itu, tiap-tiap penganut agama –yang taat- harus ekstra kerja keras untuk memulihkan masyarakat dewasa ini supaya dapat kembali ke jalan agama.
Masih banyak cara yang dapat ditempuh untuk terciptanya perdamaian, tetapi ketiga saran di atas setidaknya dapat memberikan gambaran dasar upaya yang perlu diusahakan. Saya sendiri berharap bangsa Indonesia khususnya dan dunia umumnya dapat hidup damai, toleran, dan saling bekerja sama. Dengan adanya kedamaian, kesempatan hidup yang lebih baik lagi dapat dicanangkan hingga ke anak cucu kita. Sedangkan mengenai konflik-konflik terdahulu, janganlah kita teruskan. Mari putuskan mulai detik ini dan maafkanlah tindakan-tindakan dahulu yang pernah mereka lakukan. Masa depan yang cerah menunggu kita. Ya, masa depan kami dan kalian.[]





[1] Dalam literatur islam, Nabi Muhammad selalu menganjurkan kita untuk membaca doa ‘Allahumma Antassalam wa minkassalam wa ‘alaika yauddussalam fa hayyina rabbana bissalam, tabarakta ya zalzala li wal ikram’
[2] Dalam literatur islam, Allah bersabda, Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat’ (QS. Ibrahim [14]: 7)
[3] Seperti apakah dia laki-laki atau perempuan, apakah dia orang Arab atau non-Arab, apakah dia kaya atau miskin.
[4] Dalam Al-Qur’an terdapat ayat, “Tiada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)…” (QS. Al-Baqarah [2]: 256), ayat lain menyatakan, “Untukmu agamamu, untukku agama ku” (QS. Al-Kafirun [109]: 6. Serta ayat, “…barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir…” (QS. Al-Kahfi [18]: 29)
[5] Al-Qur’an menyatakan, “wahai manusia sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13). Ayat lain Allah menyatakan, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’ padahal mereka belum diuji?” (QS. Al-Ankabut [29]: 2)
[6] Al-Qur’an menyatakan, “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qolam [68]: 4).
[7] HOPE (House of Prayer for Everyone). (2008). A Common Word. Australia: Halal Books Autralia, hlm. vi
[8] Biasanya hasil sepakat untuk sepakat ialah tiap agama sepakat untuk bekerja sama meningkatkan sumber daya ruhani manusia, juga sepakat untuk saling hidup damai dan toleransi. 
[9] Biasanya mereka sepakat bahwa semua agama tidaklah sama (menolak penyamaan agama-agama).
[10] Husein Muhammad. (2013). Menelusuri Jalan Ilahi. Yogyakarta: Bunyan, hlm. 108
[11] Saat ini kehidupan masyarakat modern seakan-akan ingin menghilangkan peran Tuhan dari berbagai aspek kehidupan, selain itu mereka juga sudah memiliki mind set ‘duniawi’ marasa dunia adalah tujuan dari segalanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da