Pahlawan.
Masih Adakah?
“Siapa
saja yang berani berkorban dalam menegakkan kebenaran, mereka sudah layak
disebut sebagai pahlawan”
Kalau
harus menjawab jujur bagaimana keadaan Indonesia saat ini, dengan tanpa malu
aku menjawab is getting bad. Memang seperti itu keadaannya, dan
sempurnanya, itu terjadi di semua lini kehidupan. Mulai dari persoalan politik,
ekonomi, sosial, budaya, sampai agama. Kalau ada bidang lain yang belum
tersebutkan, iya itu juga termasuk. Pelakonnya pun dari semua kalangan. Dari
yang atas, bawah, kiri, tengah, kanan, atas kekiri-kirian, bawah
kekanan-kananan. Pokoknya semua lah.
Di
negeri ini, sebagai contoh, presidennya saja malah kabur saat “anak-anaknya”
mengadu. Padahal dalam sebuah kesempatan ia pernah berkata akan memberi hidangan
terbaik bagi siapa saja yang datang bertamu ke rumah mewahnya. Bahkan dalam
guyonannya ia rindu untuk dikunjungi “anaknya” yang sudah lama tak
mendatanginya. Temannya mengatakan kalau ia sedang kerja di luar dan sulit
untuk pulang. Bukan karena apa-apa, melainkan –lucunya- karena menurutnya si
anak telah menutupi arah jalan pulang. Weleh-weleh,
kalau begini adanya, andai almarhum Gus Dur masih hidup mungkin beliau akan
berkata, “Gitu aja kok repot”.
Kalau
yang teratasnya aja begini, bagaimana yang dibawah-bawahnya. Sebagai contoh
kecil, sekali dua kali kami menemukan teman-temannya pak presiden terjerat
kasus korupsi. Awalnya ini merupakan sebuah tindakan yang sangat asing lagi
tercela bagi kami –rakyat Indonesia, tapi semakin hari semakin bermunculan
nama-nama baru hingga akhirnya membuat kami penasaran dengan makhluk yang
namanya korupsi. Akhirnya, berkat suapan cantik bad news is a good newsnya media, seakan-akan mereka ingin berkata
“Ayo anak manis! kakak-kakak kalian sudah
melakukannya, sekarang giliran kalian.”, dengan senang dan bangga, kami
menirunya. Disini aku ingin berterima kasih wa
bil khusus kepada para pemilik
media yang telah memberikan kami asupan makanan yang sangat bergizi.
Tidak
lupa aku harus mengangkat topi atas jasa teman-teman pak presiden yang telah
mendidik kami untuk menjadi seperti kalian, karena kalianlah role model kami. Kalian bolos, anak-anak
didik kami di sekolah pun menirunya. Saat kalian menonton bokep di ruang kerja,
anak-anak kami malah telah mempraktikkannya, atau saat kalian bertengkar
(fisik) lalu dishare oleh media, membuat kami tak sabar untuk menirunya dengan
cara yang lebih ekstrem. Dan Alhamdulillah
we did it. Satu lagi, terima kasih karena telah membuat orang tua kami giat
banting tulang untuk membelikan kami motor-mobil sporty sebagaimana kendaraan yang kalian miliki.
Juga
dari kalangan aparat penegak hukum, polisi. Aku punya cerita lucu dengan mereka.
Empat tahun tinggal di Bandung membuatku sedikit banyak sudah mengenal karakter
mereka. Salut, karena mereka benar-benar mencintai kebenaran. Suatu hari
sepulang mengajar dari salah satu SMA favorit di Bandung, motorku diberhentikan
oleh pak polisi, tepatnya di perempatan Jalan Merdeka –dekat Bank Danamon.
Mencabut kunci motorku –sambil berjalan ke bangunan kecil- sembari memberi
isyarat kalau aku harus mengikutinya. Di bangunan kecil nan gelap itu aku juga
melihat satu orang pengendara yang sepertinya bernasib sama denganku, tapi
dengan wajah yang lebih memelas.
Ingin
selesai di tempat atau nanti di pengadilan, katanya. Aku memilih di pengadilan
saja, toh pikirku tidak akan terkena denda besar. Mendengar responku membuatnya
agak sedikit kaget walaupun langsung ditutup dengan wajah wibawanya. Mungkin
merasa ganjil dengan ucapanku, dia kembali mengulang pertanyaannya beberapa
kali tapi tidak ada yang berbeda, jawabanku tetap sama seperti pada awalnya.
Sedikit memberi hiburan, aku iseng-iseng bertanya berapa uang yang harus
dikeluarkan kalau diselesaikan di tempat. Dua ratus ribu, katanya. “Boleh
seratus ribu deh.” ralatnya. Shock sekali
mendengarnya. Mahal sekali untuk pelanggaran yang hanya karena ketiadaan satu
buah plat nomor kendaraan. Itu pun bukan karena aku tidak membuatnya melainkan
karena aku menjatuhkannya saat sedang ngebut
di jalan raya beberapa hari sebelumnya.
Terakhir
aku katakan lagi kalau aku tetap ingin melewati jalur pengadilan dan dia pun
akhirnya –sembari menyita STNK- memberi surat tilang kepadaku. Dan fix ternyata
aku telah ditipu olehnya. Di pengadilan aku dinyatakan terkena dua buah pasal
pelanggaran, entah pasal-pasal apa, aku kurang paham. Cara balas dendam yang
unik pikirku. Tidak bisa mendapat insentif dariku, ia telah memasang jebakan
batman dengan mencantumkan dua buah pasal yang harusnya cuma satu. Sial, orang
bodoh memang harus menerima untuk dibodohi.
Selanjutnya,
jangan tanya bagaimana dengan kondisi ekonomi bangsa ini. Aku agak geli dengan
opini orang-orang atas yang menyatakan kalau Indonesia semakin hari semakin
menunjukkan peningkatan kesejahteraan ekonomi, dengan hanya melihat dan menilai
dari angka-angka statistik. Mereka itu pura-pura tidak tahu betapa kejamnya
kehidupan di bawah. Aduhai nikmatnya menjadi mereka yang bisa keliling dunia
dengan kendaraan pribadinya, atau membeli segala hal pernak-pernik duniawi
dengan menguras tenaga orang-orang bawah, bahkan tak jarang juga dengan cara
mencuri tanah-tanah mereka. Jayalah neo-imperialisme !!
Gaya
hidup yang serba kapitalis-apatis ini dengan secepat kilat menyebar ke seluruh
lapisan masyarakat, kalangan menengah ke atas juga ke bawah. Lihat saja
sekitarmu, bagaimana mereka sibuk dengan dunia materialistiknya masing-masing. Pernah
di satu siang hari yang terik di Pare misalnya, aku melihat seorang nenek
dengan pakaian compang-camping membawa sekarung goni besar bersama kedua
anaknya yang masih kecil. Mereka duduk cukup lama di pos ronda dengan keadaan
yang begitu mengenaskan.
Walaupun
banyak sekali orang yang berlalu lalang, yang aku yakin mereka adalah
orang-orang yang cukup berada –dari segi finansial- yang tentu pernah mengenyam
dunia pendidikan minimalnya SMA, tapi tak ada satu pun dari mereka yang peduli.
Ada yang malah melihat dengan tatapan jijik. Jujur hatiku miris, hampir saja
meneteskan air mata. Masa sih tidak
ada satu orang pun yang peduli? lalu apa yang selama ini mereka pelajari di
bangku-bangku sekolah? Sampai aku merasa seakan ajaran inti (menyempurnakan
akhlak) Nabi Muhammad telah gagal segagal-gagalnya masuk ke lubuk hati
masyarakat Indonesia. Akhirnya dengan malu-malu aku mendekatkan diri kepada ibu
tersebut dan berkata. “Ibu, ini ada sedikit rezeki, dan maaf sekali kalau aku
belum bisa banyak membantu.” Saat itulah aku merasa gelar sarjana ini begitu
berat kupikul. Akankah di akhirat nanti nenek ini bersama teman-temannya yang
lain menagih amanah sarjana yang kudapat?
Itu
masalah ekonomi, sekarang sosial-budaya. Peran dunia hiburan beserta atributnya
–yang dipelopi oleh kalangan artis, musisi, dll- juga tidak kalah pentingnya
dalam menyumbangkan degradasi moral anak bangsa -Raline Shah tidak termasuk
kok. Mereka dengan seenak jidat mentransfer west
culture yang padahal tidak seluruhnya cocok bagi Indonesia. Untung kalau
yang dioper itu seperti budaya membaca, antre, tepat waktu, hidup sehat, dan
hal baik lainnya. Sayangnya malah budaya sekular-materialis-hedonis yang lebih
memikat hati mereka. Mulai dari lagu-lagu berkarakteristik cinta-nafsu, pakaian
yang serba sexy nan minim, hingga
gaya pacaran yang ultra-liberal dengan bangga dipertontonkan kepada khalayak.
Sekarang paha-dada, ciuman, pelukan, bikini sudah lumrah, dan lima sepuluh
tahun mendatang jangan aneh kalau, maaf, payudara anak-anak kalian berseliweran
dimana-mana, dan, ah tak perlu kuteruskan.
Kebobrokan
moral-mental dan lemahnya kesadaran diri masyarakat kita tentunya merupakan
implikasi luas dari kecacatan nilai agama yang dianut yang kukira telah jauh
melenceng dari ajaran murninya, entah karena efek globalisasi ataupun tekanan
hasrat nafsu yang tak tertahankan. Setiap kelompok, misalnya, menjelek-jelekkan
kelompok lainnya meski masih dalam satu agama yang sama. Lihat saja bagaimana
setiap hari si kanan dan kiri berantem terus bak anjing dan kucing. Ada juga
yang mempolitisasi agama, menjual agama untuk sesuatu hal yang remeh-temeh,
atau ada yang ngakunya beragama tapi sama sekali tidak mau menuruti ajaran
agama tersebut. Ngeyel.
Harapan Masih Ada
“Mau
dibawa kemana negeriku, mau dibawa kemana bangsaku” kata Charly ST 12 dalam
salah satu lagunya yang menggetarkan hati. Itulah pertanyaan besar kita semua
yang sadar akan nasib bangsa ini. Apakah kalian mengharapkan turunnya Isa?
kalau masih mengharap-harap berarti mata kalian harus dibuka lebar-lebar karena
nyatanya ia sudah hadir di muka bumi ini, termasuk Indonesia. Aku menyebut
mereka sebagai Isa-Isa kecil. Mereka itulah yang senantiasa mengisi keringnya
kebenaran, kosongnya kebaikan, dan langkanya keindahan. Jiwa-jiwa mereka bersih
nan tak pantang menyerah meski berulang kali usahanya digagalkan/digempur oleh
modernisasi yang ultra-modern dengan segala kompleksitas permasalahannya.
Sebut
saja diantaranya adalah para pemuda/i penebar kedamaian, dimana saat masyarakat
Indonesia lebih cenderung menebar kebencian, mereka malah bergerak berlawanan.
Masih kecil sih tapi terlihat sekali keistiqamahannya.
Irfan Amalee, Erick Lincoln, Ayi Yunus, Andreas Jonathan, Huda bersama istri
tercinta, dan Oswin adalah beberapa nama dari sekian para peacemaker Indonesia yang tiada hentinya menyerukan perdamaian di
Indonesia. Namanya memang tidak setenar Syahrini, tapi yakinlah namanya senantiasa
dipuji oleh makhluk-makhluk langit.
Masih
dari golongan pemuda. Jika mayoritas pemuda Indonesia lebih suka berpacaran
ria, mengunggah foto mesranya di instagram, atau membuat video kebahagiaan
palsunya saat liburan di pantai, Isa-Isa kecil ini malah sibuk memikirkan nasib
umat, tepatnya tertuju kepada anak-anak bangsa yang akan mewarisi tahta di masa
yang akan datang. Mereka membuat komunitas-komunitas sederhana yang pada
dasarnya ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Selain
itu ada guru/ustadz yang rela mengabdikan dirinya dengan honor yang sangat
tidak manusiawi, bahkan tidak sedikit pula yang memutuskan untuk tidak memungut
biaya sepeserpun meski mereka juga memiliki tanggungan/kewajiban. Di sisi lain
ada juga relawan-relawan, baik member dalam bentuk tenaga maupun uang, yang
hilir mudik membanjiri tempat-tempat terpencil sekadar memberi pancingan
harapan optimisme generasi-generasi mendatang. Inilah Isa-Isa kecil yang ada di
Indonesia. Memang tidak banyak jumlahnya, tapi yakinlah mereka akan selalu
beregenerasi. Merekalah yang pantas menyandang gelar pahlawan anonim,
sebagaimana ada sejumlah orang (red: pahlawan) yang menyokong Ir.Soekarno yang
namanya tidak diketahui Apakah kalian juga ingin menjadi bagian dari mereka? Itu
pilihan kalian. Terakhir dariku, selamat hari pahlawan, selamat berjuang, wahai
kalian, Isa-Isa kecil !!
Pare, 10 November 2016
Sumber gambar:
orig14.deviantart.net
Komentar
Posting Komentar