sumber gambar: https://3.bp.blogspot.com
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqh
Al-Munakahat wa Al-Mawaris yang Diampu Oleh Drs. Toto Suryana, M.Pd dan Dr. Ahmad Syamsu Rizal, M.Pd
Disusun oleh:
Kelompok 1
Evi Trisnawati (1202853)
Nijar Muhamad N
(1202849)
M. Jiva Agung
(1202282)
Sandra Mila
Erlanda (1202861)
PROGRAM STUDI ILMU
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga,
para sahabat, tabi’in tabi’atnya dan seluruh umatnya sampai akhir zaman yang
patuh dan taat kepada ajarannya. Ᾱmīn.
Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh Al-Munakahat wa Al-Mawaris,
yaitu membahas tentang “Pernikahan
Antar Agama”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Drs. Toto Suryana, M.Pd dan Bapak Dr. A Syamsu Rizal, M.Pd atas bimbingannya, serta kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa
dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat
membangun sebagai bahan masukan untuk penulis di masa yang akan datang. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat umumnya bagi pembaca dan khususnya bagi kami sebagai
penulis. Ᾱmīn
Bandung, Oktober 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia itu diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan.
Pernikahan dalam agama Islam pun merupakan sunatullah. Dalam sejarah umat
manusia, baik manusia primitif maupun manusia modern mengakui adanya institusi
perkawinan ini, meskipun dengan cara berbeda-beda. Penyimpangan terhadap
ketentuan ini seperti prostitusi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang
harus dihilangkan. Memang dalam kenyataannya terdapat sejumlah komunitas yang
walaupun mengakui institusi perkawinan, tetapi memiliki persepsi yang spesipik
tentang hubungan seksual diluar perkawinan.
Pernikahan dalam Islam dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara
halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang mawaddah (saling
mencintai) rahmah (saling berkasih sayang) antara suami istri, hal ini sebagaimana
maksud dari makna (QS. al-Rum : 21). Dan perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang
suami dan istri yang seakidah, seakhlak dan satu tujuan, disamping cinta dan
ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan inilah kehidupan suami
isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia
anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan perkawinan yaitu
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Menurut pandangan Islam juga,
tujuan perkawinan atau pernikahan tidak akan terwujud secara sempurna kecuali
jika suami dan isteri tersebut berpegang pada satu keyakinan yang sama dan
mereka teguh dalam melaksanakan ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda,
makan akan timbul berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam
masalah pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan
tradisi keagamaan, dan lain sebagainya yang pasti akan timbul dalam keluarga
tersebut.
Maka dari itu
kami selaku penulis berusaha menguraikan dan membahas mengenai perkawinanan
dan pernikahan antar agama.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, kami membuat makalah
ini dengan perumusan pembahasan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pengertian pernikahan menurut Islam?
2.
Bagaimana
pengertian pernikahan antar agama?
3.
Apa persoalan
pernikahan antar agama?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
Adapun
penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.
Untuk mengetahui
pernikahan menurut Islam;
2.
Untuk mengetahui
pengertian pernikahan antar agama;
3.
Untuk mengetahui
persoalan pernikahan antar agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pernikahan
Menurut
Amir Syarifuddin yang di kutib oleh Mardani (2011: 4) bahwa secara etimologis,
perkawinan dalam bahasa Arab berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini
yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam
Al-Qur’an dan hadits Nabi. Kata Al-Nikah menurut Al-Imam Taqiyudin yang
juga dikutip oleh Mardani mempunyai arti Al-Wath’I, Al-Dhommu, Al-Tadakhul,
Al-Jam’u atau ibarat ‘An Al-Wath wa Al-Aqd yag berarti bersetubuh,
berhubungan badan, berkumpul, jima’ dan akad.
Senada
dengan pendapat diatas, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah”
sebagai (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri
(dengan resmi); (2) perkawinan. Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk makna
tersebut. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara
bahasa kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”. Al-Qur’an juga
menggunakan kata zawwaja dari kata zauwj yang berarti “pasangan”
untuk makna dari pernikahan. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang
memiliki pasangan. Kata tersebut dalam Al-Qur’an dalam berbagai bentuk dan
maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali. (Shihab, 2013: 253)
Menurut
Muhammad Abu Ishrah yang masih dikutip oleh Mardani (2011: 4) bahwa definisi
nikah menurut ulama muta’akhirin ialah akad yang memberikan faedah hukum
kebolehan mengadakan hubungan suami istri antara pria dan wanita dan mengadakan
tolog-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban
masing-masing.
Menurut Ramulyo, secara etimologi nikah berarti
hubungan seksual, sedangkan secara majazi (kiasan) nikah adalah aqad
yang menjadikan halalnya hubungan suami istri antara laki-laki dan perempuan. (Ramulyo, 1996: 1)
Senada dengan
pengertian diatas, Rasyid (2012: 374) berpendapat bahwa pernikahan adalah akad
yang menghalalkan hubungan biologis dan
membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang mahram.
Kemudian menurut Sahrani (2009: 8) dalam
bukunya menyatakan bahwa pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku
pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan
bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Dari
beberapa pengertan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian
pernikahan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan yang menjadikan
hubungan antara keduanya menjadi halal setelah adanya akad.
B. Pengertian Pernikahan Antar Agama
Menurut Abdurrahman (1978: 20) Pernikahan antar agama ialah pernikahan yang
dilakukan seorang yang memeluk agama dan kepercayaan berbeda antar satu dengan
yang lainnnya, sebagai contohnya ialah lelaki muslim dengan wanita non muslim
dan lain sebagainya.
C. Persoalan Pernikahan Antar Agama
1.
Pernikahan dengan Ahli Kitab
(Laki-Laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab)
Menurut Ramulyo (1996: 35) menikah antar agama itu tidak
diperbolehkan karena sudah jelas ada larangannya dalam Al-Qur’an mengenai
larangan menikah berbeda agama. Karena Allah berfirman “Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.
dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221)
Dalam
kaitan ini, ditinjau dari Asbab Nuzul dari ayat diatas yaitu:
a. Ibnu Abi Murtsid
Al-Chanawi memohon izin kepada Nabi Muhammad Saw. agar dia dapat diizinkan
menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan amat terpandang.
Rasulullah belum dapat menjawab walaupun telah dua kali ditanya. Sesudah
Rasulullah berdoa kepada Allah, maka turunlah ayat ini yang melarang laki-laki
muslim menikahi wanita musyrik dan sebaliknya melarang wanita muslim menikahi
laki-laki musyrik.
b. Abdullah bin
Rawahaih mempunyai seorang hamba sahaya (budak) yang amat hitam. Pada waktu
itu, ia marah kepadanya dan menampar budak tersebut tetapi kemudian ia
menyesal, lalu menceritakan kepada Nabi Muhammad dan bertekad akan menebus
penyesalan itu dengan menikahi budak yang hitam itu. Orang-orang pada waktu itu
mencela dan mengejek tindakan Abdullah bin Rawahaih itu, tetapi dia tetap mau
melaksanakannya. Maka turunlah ayat ini sebagai penjawab atas masalahnya.
Sepertinya
pendapat Ramulyo ini berdasarkan pendapat yang beliau ambil dari riwayat
sahabat Nabi, Ibnu Umar yang mengatakan bahwa “saya tidak mengetahui
kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan seseorang yang menyatakan
bahwa Tuhannya adalah Isa Al Masih atau salah satu dari hamba Allah”
Yang
ternyata pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat dan ulama. Mereka
berpegang kepada teks ayat yang memperbolehkan perkawinan semacam itu, dan
menyatakan bahwa walaupun akidah ketuhanan ajaran Yahudi dan Nasrani tidak
sepenuhnya sama dengan akidah Islam, tetapi Al-Qur’an tidak menamai mereka
sebagai orang-orang yang musyrik. (Shihab, 2013: 260)
Malahan
Uwaidah (2009: 410)
berpendapat bahwa hadits diatas berstatus mauquf
pada Ibnu Umar dan bertolak
belakang
dengan apa yang dibenarkan al-Qur’an
dan hadits sahih yang membolehkan seorang laki-laki
menikah dengan ahl
kitab. Artinya ucapan
atau pendapat seseorang tidak dapat dijadikan dalil (argumentasi) dalam
penetapan hukum syara’.
Ulama
terkenama Ibn Hazm pernah mengatakan: “seandainya tidak ada dalil lain
kecuali ayat ini -Al-Baqarah:221-, niscaya ucapan Ibnu Umar dapat dijadikan
sebagai pegangan. Akan tetapi kita juga mendapatkan firman Allah dalam surat
Al-Maidah ayat 5. Yang
menjadi keharusan ialah berpegang kepada kedua ayat tersebut dan tidak dari
salah satu dari dua ayat tersebut.” (Uwaidah, 2009: 410)
Menanggapi
ucapan Ibnu Umar, Al-Qurhtubi mengatakan: “ucapan tersebut diluar
pendapat jamaah yang berlandaskan pada argumen yang
kuat. Diantaranya ialah Utsman
bin Affan, Thalhah
bin Ubaidillah, Ibnu
Abbas, Jabir dan
Hudzaifah. Karena mereka telah menyatakan
telah dihalalkannya menikahi wanita ahlul kitab secara
keseluruhan, sedangkan dari
kalangan tabi’in seperti Said Musayyab, Said bin Jubair, Mujahid,
Thawus, Ikrimah, Dhahak
dan para fuqaha Mesir
menyatakan bahwa tidak
ada pertentangan kepada kedua ayat diatas, maka zhahir dari kata “syirik” tidak
mencakup ahli kitab. Sebagaimana firman Allah Al-Bayyinah ayat 1. Berdasarkan lafadz diatas
terdapat pemisahan antara musyrik dan ahli kitab. Utsman
bin Affan pun pernah menikahi Na’ilah binti Farafadhah Al-Kalibiyah yang beragama nasrani lalu Na’ilah beragam Islam. Hudzaifah pun menikahi
wanita Nasrani penduduk Madinah..(Uwaidah,
2009: 411)
Mengenai surat Al-Bayyinah ayat 1
ini, Shihab (2103: 261) menyatakan bahwa orang kafir itu dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yakni ahlul kitab dan musyrik. Perbedaan ini dipahami
dari kata “wa” yang diterjemahkan “dan”, yang oleh pakar bahasa
dinyatakan sebagai mengandung sebuah makna “menghimpun dua hal yang berbeda”
Al-Qardawi (2007: 261) menyebutkan dalam hal ini adalah untuk menyesuaikan dengan pandangan
dan perlakuan khusus Al-Qur’an terhadap mereka, di samping karena status mereka –ahli kitab- sebagai pemeluk agama samawi
(wahyu), meskipun telah terjadi penyimpangan dan pengubahan di dalam kitab
sucinya. Sebagaimana
Al-Qur’an memperbolehkan kita mengkonsumsi makanan mereka, ia juga
memperbolehkan perbesanan melalui perkawinan antara lelaki muslim dengan
perempuan mereka.
Untuk
menguatkan argumennya, Quraish Shihab menyuarakan pendapat dari Syaikh Mahmud
Syaltut yang berpendapat bahwa seorang laki-laki diperbolehkan mengawini
non-muslimah yang ahli kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan
harmonisme, sehingga terkikis dari hati sang istri rasa tidak senangnya
terhadap agama islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik, sang istri dapat
lebih mengenal keindahan dan keutamaan islam secara amaliah praktis, sehingga
ia mendapatkan dampak baik dari perbuatan itu. (Shihab, 2013: 263)
Hal ini pun merupakan salah satu wujud toleransi Islam
yang tiada bandingnya dengan agama dan millah mana pun. Meskipun
Al-Qur’an menyebut alhi kitab sebagai orang kafir dan sesat, ia tetap
memperbolehkan seorang muslim menjadikan perempuan ahli kitab sebagai isteri
dan ratu dalam rumah tangganya, penenang hati, tempat menyimpan rahasia dan ibu
bagi anak-anaknya, betapapun perempuan itu tetap berada pada keyakinannya.
(Qardawi, 2007: 263)
Kemudian, Mahmud Syaltut melanjutkan (Shihab,
2013: 263) jika seorang muslim khawatir akan aqidah anak-anaknya
dengan keberadaan dan arahan sang isteri, ia harus berfikir untuk mengamankan
agamanya dan menjauhi bahaya itu terlebih dahulu. Dan jika dari sang suami tidak dapat
melakukan hal itu ataupun tidak tercipta hal yang demikian, maka ulama sepakat
untuk tidak membenarkan perkawinan itu.
Lain hal lagi apabila jumlah
kaum muslimin di suatu negeri sedikit, seperti imigran misalnya, pendapat yang
kuat dalam hal ini adalah haram bagi kaum lelaki menikah dengan perempuan non-muslim. Karena perkawinan mereka dengan perempuan nonmuslim dalam kasus ini –sementara
yang muslimah haram menikah dengan laki-laki nonmuslim- berarti tidak memberi
peluang kepada gadis-gadis kaum muslimin, atau menjadikan mereka yang jumlahnya
tidak sedikit diantara kaum muslimn diantara kaum imigran itu, makin
tersia-siakan. Karenanya, ia jelas mendatangkan bencana bagi masyarakat muslim. Bencana
ini dapat dihindarkan dengan membatasi sesuatu yang hukumnya diperbolehkan
dengan menundanya hingga suatu saat nanti. (Qardhawi,
2007: 263)
Setelah
kita meyakini bahwa seorang ahlul kitab dapat menikah dengan seorang muslim,
masalah selanjutnya ialah siapa saja ahlul kitab yang dimaksud oleh Al-Qur’an
itu dan siapa saja yang tergolong orang musyrik.
2. Ahl Kitab Menurut Pandangan Para
Ulama
Ulama
sepakat bahwa kata ahl kitab menunjuk kepada dua komunitas penganut
agama samawi sebelum islam yaitu Yahudi dan Nasrani. Begitu pun ketika di zaman
Rasul. Lain halnya ketika zaman Rasul menyebut orang-orang majusi, mereka tidak
menyebutnya dengan ahli kitab. Tetapi ketika pada masa Tabi’in, batasan
mengenai ahl kitab ini mengalami perkembangan. (mardani, 2011: 82)
Al-Maududi,
seorang ulama Kontemporer asal Pakistan ini (Shihab, 2013, p. 483) telah menulis
perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai cakupan makna ahl kitab, diantaranya
ialah:
a. Imam
Syafi’i, yang memahami istilah ahl kitab sebagai orang-orang Yahudi dan
Nasrani keturunan orang-orang Israel, sehingga orang yang menganut agama Yahudi
dan Nasrani yang bukan berasal dari bangsa Israel menurutnya bukanlah ahl
kitab. Beliau beralasan karena Nabi Musa dan Isa hanya diutus kepada bangsa
Israel dan bukan kepada bangsa yang lain.
b. Imam
Abu Hanifah dan mayoritas pakar hukum, mereka berbeda pendapat dengan Imam
Syafi’i. karena menurut mereka siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi,
atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahl kitab. Dengan
demikian, ahl kitab tidak terbatas pada penganut agama Yahudi dan
Nasrani.
c. Adapun
pendapat ketiga yang dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang
menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab
suci (samawi), maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahl kitab, seperti
halnya orang-orang majusi. Pendapat terakhir ini menurut Al-Maududi, diperluas
lagi oleh pakar mujtahid kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama
Hindu dan Budha.
Bahkan
ulama besar seperti Muhammad Rasyid Ridha (Shihab: 484) yang telah merinci dan
menilai panjang lebar riwayat-riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi
dan tabi’in, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta menyimak dan
menimbang pendapat ulama sebelumnya, menyimpulkan fatwa sebagai berikut: “kesimpulan
fatwa ini adalah bahwa laki-laki muslim yang diharamkan oleh Allah menikah
dengan wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah
wanita-wanita musyrik Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan noleh Mahaguru para
mufassir Ibnu Jarir At-Tabari, dan bahwa orang-orang majusi, as-sabi’in,
penyembah berhala di India, Cina dan yang semacam mereka seperti orang-orang
Jepang adalah ahli kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang”
Dengan
begitu banyak perbedaan pendapat antara para ulama mengenai siapa saja ahli
kitab itu, penulis lebih condong dengan pendapat Quraish Shihab yang menyatakan
bahwa pengertian Ahli kitab ialah semua penganut agama Yahudi dan Nasrani,
kapan pun dan dimana pun dan dari keturunan siapa pun mereka. Hal ini
dipertimbangkan oleh penulis karena adanya unsur kehati-hatian dalam menetapkan
hukum dan juga karena adanya penggunaan Al-Qur’an terhadap istilah ahli kitab
yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan sebuah
ayat dalam Al-Qur’an:
br& (#þqä9qà)s? !$yJ¯RÎ) tAÌRé& Ü=»tGÅ3ø9$# 4n?tã Èû÷ütGxÿͬ!$sÛ `ÏB $uZÎ=ö7s% bÎ)ur $¨Zä. `tã öNÍkÉJy#uÏ úüÎ=Ïÿ»tós9 ÇÊÎÏÈ
Artinya: (kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan:
"Bahwa kitab itu hanya diturunkan
kepada dua golongan saja sebelum Kami, dan Sesungguhnya Kami tidak
memperhatikan apa yang mereka baca.(QS. Al-An’am [6]: 156)
3.
Pernikahan
dengan orang Musyrik (wanita atau laki-laki)
Menurut Qardhawi (2007: 260) menyebutkan bahwa perempuan
musyrik termasuk perempuan yang haram dinikahi. Yaitu perempuan yang menyembah
berhala seperti kaum musyrikin Arab dan sejenisnya. Allah Swt berfirman“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221)
Ayat diatas menjelaskan bahwa seorang muslim haram menikah
dengan perempuan musyrik, sebagaimana seorang mukminah haram dinikahkan dengan
seorang musyrik, karena perbedaan yang sangat mencolok diantara dua keyakinan
itu. Mereka mengajak kepada surga sedang pihak lain
mengajak ke neraka. Pihak pertama beriman kepada Allah, kenabian dan hari
akhir, sedangkan pihak kedua menyekutukan Allah, mengingkari kenabian dan
menyangkal adanya akhirat. (Qardawi, 2007: 260)
4. Pernikahan dengan ahl kitab (laki-laki ahli
kitab dengan perempuan muslimah)
Menurut
uwaidah (2009: 410) wanita muslimah sama sekali tidak boleh menikah dengan
laki-laki non muslim. Sesuai dengan Firman surat Al-Baqarah ayat 221.
Diharamkan bagi
perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim, baik itu ahli kitab atau yang lainnya. Apapun
alasannya, ia tidak diperbolehkan. Berkaitan dengan perempuan-perempuan mukminah yang
hijrah, Allah Swt berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Mumtahanah [60]: 10)
Qardhawi (2007: 263) menjelaskan bahwa tidak ada nash
yang mengecualikan ahli kitab dari hukum ini. Karena itulah, hukum haram ini telah menjadi
kesepakatan kaum muslimin. Di bolehkannya laki-laki muslim menikah dengan
perempuan Yahudi atau Nasrani, sementara perempuan muslimah tidak boleh menikah
dengan mereka, tidak lain karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga,
berkuasa terhadap isterinya dan bertangungjawab tentang dirinya. Islam menjamin
kebebasan akidah bagi istri yang ahli kitab itu dalam naungan suaminya, bahkan
melindungi hak-hak dan kehormatannya dengan syariat dan bimbingan-bimbingannya.
Akan tetapi agama lain, seperti yahudi dan Nasrani misalnya, tidak pernah
memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama, tidak menjamin kebebasan
akidah dan hak-haknya. Bagaimana mungkin Islam harus mengorbankan masa depan
anak-anak gadisnya dan menyerahkan mereka ke tangan orang-orang yang tidak
mengindahkan perjanjian dan perlindungan terhadap agama mereka. Sungguh mustahil jika seorang muslimah tetap memliki
kehormaan aqidah dan perlindugan agamanya jika laki-laki yang menguasainya
adalah seorang yang menentang agamanya dengan segala bentuk pertentangan.
Dari pembahasan ini dapat kita ambil pelajaran bahwa Islam sangat rasional
ketika mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan musyrik dan
penyembah berhala. Karena Islam tidak mengakui kemusyrikan dan keberhalaan,
bahkan mengingkarinya dengan segala bentuk pengingkaran. Karena itu, bagaimana
mungkin akan tercipta kedamaian, ketentraman, cinta dan kasih sayang diantara
mereka. (Qardhawi, 2007:265)
Begitu
pun dikalangan banyak ulama yang pada saat ini masih berargumen dilarangnya
perempuan muslim menikah dengan laki-laki non-muslim. Seorang perempuan muslim
dilarang menikah dengan seorang lelaki non-muslim dikarenakan kekhawatiran akan
terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya.
(Shihab, 2013: 263)
Tetapi
baru-baru ini pendapatnya diatas tidaklah semuanya benar, karena setelah ada
salah satu penelitian mengenai masalah ini di Indonesia, bahwa kasus yang
melakukan pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim
menghasilkan 50% anak beragama islam sedangkan perkawinan antara laki-laki
non-muslim dan perempuan muslim menghasilkan
77% sampai 79% anak beragama islam. Kenyataan ini membuktikan bahwa kemampuan
perempuan terutama di Indonesia untuk mengislamkan anak ternyata lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki muslim. (Trisnaningsih, 2007: 39)
Berdasarkan
data tersebut, kita akan bertanya mengapa fikih untuk sementara ini melarang
perempuan muslim menikah dengan laki-laki non-muslim. Yang menurut
Trisnaningsih (2007: 39) ternyata fikih selama ini masih banyak mengandalkan
hal-hal yang berisifat hipotesis, pengandai-andaian dam gagasan-gagasan yang
tidak teruji secara empiris.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat penulis simpulkan pernikahan beda agama adalah pernikahan yang
dilakukan seorang yang memeluk agama dan kepercayaan berbeda antar satu dengan
yang lainnnya, sebagai contohnya ialah lelaki muslim dengan wanita non muslim
dan lain sebagainya.
Dari
penjelasan-penjelasan mengenai pernikahan antar agama, dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan antara ulama mengenai hal ini, adapun pendapat mereka yakni:
1. Umat islam tidak boleh menikah dengan non-muslim, juga tidak boleh
menikahi seorang ahli kitab
2. Umat islam tidak boleh menikah dengan orang musyrik
3. Umat islam (perempuan) tidak boleh menikah dengan laki-laki non-muslim
4. Umat islam (laki-laki) boleh menikah dengan ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani) saja
5. Umat islam (laki-laki) boleh menikah dengan ahli kitab (Yahudi, Nasrani,
Hindu, Budha, Kong Hu Chu)
B. Saran
Sebagai umat Islam yang baik dan taat, kita
dituntut untuk selalu menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi segala larangan Allah Swt, agar
kita sebagai umat-Nya selalu mendapat Ridha Allah Swt. Untuk itu penulis
berharap semoga dengan adanya makalah ini kita bisa lebih mengetahui berbagai
hal yang berkaitan dengan pernikahan khususnya pernikahan beda agama.
Dan semoga dengan makalah ini kita
sebagai manusia yang diberi kelebihan yaitu akal dan pikiran, sehingga kita
dapat mengambil pelajaran yang terkandung dan bisa dalam mengamalkan dan
melaksanakan aturan dalam Islam yaitu menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi segala larangan Allah Swt
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman.
(1978). Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Alumni
Mardani.
(2011). Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu
Qardawi.
(2007). Halal Haram dalam Islam. Surakarta: Era Intermedia
Ramulyo.
(1996). Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Rasyid,
S. (2012). Fikih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Sahrani.
(2009). Fikih Munakahat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Shihab,
Q. (2013). Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan
Trisnaningsih,
M. (2007). Relevansi Kepastian Hukum dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama di
Indonesia. Bandung: CV. Utomo
Uwaidah,
K. M. (2009). Fikih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kausar
Komentar
Posting Komentar