Langsung ke konten utama

"Warisan" (lagi): Menanggapi Tanggapan Gilang Kazuya



Note: Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, sebelum membaca tulisan ini baiknya pembaca budiman bisa melihat terlebih dahulu postingan Afi tentang “warisan” yang ada di akunnya (Afi Nihaya Faradisa, 15 Mei 2017) kemudian dilanjutkan dengan postingan Gilang Kazuya (Gilang Kazuya Shimura, 19 Mei 2017).

Beberapa hari yang lalu saya sempat sedih saat mengetahui bahwa akun facebook Afi, siswi SMA yang memiliki pola pikir anti mainstream, menghilang. Usut punya usut hal itu disebabkan karena postingan terakhirnya telah membuat banyak orang kebakaran jenggot, termasuk Gilang Kazuya Shimura, pemuda yang membuat postingan tanggapan terhadap tulisan terakhir Afi mengenai “warisan”.

Setelah Gilang memosting tulisannya, puluhan ribu orang “mengerumuninya” dengan total kisaran 15.000 like, 2.300 komentar, dan 6.700 share. Pro dan kontra silih berganti. Website www.mediamuslim.org termasuk ke dalam golongan yang pro, sampai-sampai harus memosting kembali –secara utuh– tulisan mahasiswa yang sedang menempuh kuliah di negerinya Michael Ballack ini. Tetapi tidak sedikit juga di antara mereka yang malah menyerang balik. Bahkan, menurut penuturannya sendiri, ada seorang bapak yang mengolok-oloknya, mengatakan bahwa kuliahnya di luar negeri hanya menghabiskan uang negara saja, sebab bagaimana mungkin mahasiswa internasional memiliki pemikiran yang sesempit itu. Pernyataan seorang bapak tersebut langsung dibalas, “saya kuliah pakai biaya sendiri kok, hasil nguli di pabrik/restoran-restoran. Saya aminkan tuduhan bapak yang bilang saya dapat beasiswa LPDP.”

Dan pada kesempatan kali ini, saya hendak meneruskan perjuangan kubu yang kontra, namun bukan dengan melontarkan kata-kata kasar apalagi memobilisasi aksi-aksi fisik, melainkan berusaha untuk memberi sanggahan dengan cara yang lebih beradab, yakni melakoni dialektika teks. Sejujurnya saya cukup mengapresiasi sikap Gilang Kazuya yang tidak memuat unsur-unsur kebencian di dalam tulisannya. Ia hanya ingin mengkritisi pemikiran Afi yang menurutnya telah keluar jalur, tak lebih tak kurang. Dari sana saja saya bisa menafsirkan bahwa beliau memang seorang manusia yang berpendidikan.

Salah seorang senior saya yang tak kunjung lulus pun turut menyikapi persoalan ini. Narasi singkatnya mengungkapkan bahwa wajar jika postingan Afi dan Gilang terkesan bertentangan yang dikarenakan adanya perbedaan pendekatan. Jika Afi memulai langkahnya bertumpu dari realitas, Gilang mencoba untuk menilik dari pendekatan normatif-teologis. Boleh saja kita memegang uraian ini, tetapi nalar tentu kurang terpuaskan, sebab sudah semestinya (idealnya) landasan teoritis-normatif selaras dengan realita. Oleh karena itu, tanpa berpanjang lebar, mari kita analisis setiap torehan Gilang Kazuya.

Di beberapa paragraf pertama ia hendak meluruskan pemahaman reduktif Afi tentang konsep agama warisan yang tak pernah dapat diputuskan/pilih sendiri. Afi, yang menyatakan bahwa manusia tidak memilih agama yang dipeluknya karena hanya mendapatkannya secara turun-temurun, menyayangkan ketidakdewasaan mereka (kaum beragama) seperti dengan begitu mudahnya mengklaim kebeneran hanya ada dalam agamanya saja sembari mengafir-sesatkan kepercayaan lain yang konsekuensi logisnya mereka pantas untuk menerima ganjaran neraka. Orang-orang ini biasanya sangat mati-matian dalam membela keyakinan agamanya, padahal mereka sendiri tidak melakukan uji coba kebenaran terlebih dahulu terhadap agamanya, paling banter hanya melakukan upaya mencari-cari pembenaran saja.

Sebagian pernyataan di atas diamini Gilang. Ia mengutarakan bahwa memang benar manusia tidak dapat untuk memilih agama apa yang harus diyakininya, tetapi bukan berarti manusia tidak dapat menggali dan mencari kebenaran dengan menggunakan akalnya yang dengannya akan kembali menuju fitrah, yang dipahaminya sebagai berislam dengan menyitir sebuah hadits “setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam) tetapi orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Jika ditilik secara saksama, saya melihat bahwa paparan Gilang kurang tepat sasaran sebab yang menjadi concern Afi ialah mengenai truth claim –yang dirongrong para believers yang tidak dilandasi uji coba atau pembuktian kebenaran, melainkan keyakinan semata padahal keyakinan itu pun bukan didapat dari hasil olah pikir melainkan sekadar warisan semata– bukan perihal kebenarannya itu sendiri. Orang-orang beragama hanya sibuk menyatakan dirinya yang benar atau pemegang panji kebenaran tanpa berani melakukan pertanyaan kritis ke dalamnya (internal).

Sehubungan dengan truth claim ini, Gilang merasa hal tersebut merupakan sebuah prinsip yang mana setiap orang berhak untuk menggenggamnya. Ia mengatakan bahwa jika seseorang menganggap semua agama benar, apa bedanya dengan seorang balita yang tak bisa membedakan antara kacang dengan kecoa. Sekali lagi di sini kritikannya masih salah sasaran, mungkin karena menangkap bahwa Afi menyamakan semua agama, padahal tidak ada dalam postingan tersebut yang menyatakan bahwa semua agama benar. Afi hanya merasa ironi dengan para penganut agama yang mengklaim kebenaran tanpa dasar pijakan yang kuat.

Saya agak tergelitik saat Gilang menaruh contoh dengan seseorang yang tak bisa membedakan kacang dengan kecoa. Mbok ya kasih contoh atau analogi yang lebih rasional lagi dong. Saya menduga dengan kuat seorang bayi sudah dapat membedakan antara kedua entitas tersebut. Lebih lanjut,  malah soal keimanan ini ia samakan di dalam tataran estetika yang sifatnya subjektif.

“jangankan soal iman dek, soal artis korea saja masih pada ngotot siapa yang paling ganteng/cantik, apalagi soal prinsip.”

Secara tidak langsung ia telah mendistorsi makna keimanan itu sendiri yang seharusnya dapat dibuktikan (obektif), justru tergerus di ranah kesubjektivitasan.

Gilang juga sepertinya kurang teliti saat mencoba membuktikan kebenaran Islam dengan menyebut surat Al-Baqarah ayat 2 dan Yunus ayat 37-38. Silakan dibaca, kedua ayat tersebut tidak sedang membicarakan kebenaran Islam vis a vis agama lain, melainkan berkonteks sebuah statement (pernyataan) kebenaran Alquran yang disangka merupakan rekayasa Muhammad.

Kemudian Gilang mempertanyakan maksud Afi yang menyindir orang-orang untuk jangan sekali-kali menjadi Tuhan. Menurutnya, pelabelan kafir oleh umat muslim (kami) kepada non-muslim (mereka) hanyalah merupakan upaya pencocokan identitas sebagaimana tertera dalam Alquran.

Saya tak bisa membayangkan jika setiap umat beragama memanggil “kafir” kepada umat agama lainnya, Selain tidak etis, pun mencederai kebebasan seseorang untuk memilih apa yang dikehendakinya. Sebenarnya jika kita menyelidiki kata kafir dengan segala variannya, akan terambil makna mengubur atau menutup. Apa yang dikubur atau ditutup tentu disesuaikan dengan konteksnya walaupun dalam Alquran cenderung memiliki konotasi yang negatif, tetapi perlu diketahui bahwa kata kafir tidak melulu berterminologi teologis-fiqhiyyah, Ayat 7 surat Ibrahim menyiratkan bahwa orang yang tidak mensyukuri nikmat disebut kafir sehingga diancam mendapat azab pedih, ungkap Prof. Quraish Shihab dalam karya monumentalnya Tafsir Al-Misbah saat menafsirkan surat Al-Kafirun.

Benarkah non-muslim merupakan orang kafir? Jawabannya bisa iya bisa tidak, tergantung konteksnya. Kalaupun Gilang Kazuya meyakini bahwa non-muslim itu kafir, alih-alih mengobral kata-kata tersebut, bukankah lebih baik untuk memulai diskusi positif dengan mereka, sebagaimana tuntunan Alquran surat An-Nahl 125? Bisa jadi bukan karena mereka mengingkari kebenaran, melainkan karena si penyampai kebenaran itu sendiri yang condong menampilkan wajah agamanya yang serba garang dan sangar. Tak sanggupkah untuk memulai duduk bersama, saling menyampaikan kebenaran yang diyakini –sembari membawa argumentasi– tetapi di sisi lain juga siap/bersedia membuka diri dan mendengar serta menghargai kebenaran yang diyakini orang lain, karena bisa jadi kebenaran yang kita bawa masihlah bersifat semu. Dari proses transformatif tersebut diharapkan akan tercipta pemahaman baru yang lebih segar dan humanis, karena desainnya tidak lagi berstruktur kalah-menang, melainkan perlu dipahami sebagai ikhtiar sama-sama sedang mencari/berproses menuju hakikat kebenaran (haqul yaqin).

Lalu mengenai penerapan syariat (hukum) Islam dalam hukum positif di Indonesia. Tak perlu ditutup-tutupi bahwa ada segolongan orang yang menginginkan hal tersebut, termasuk Gilang Kazuya –sepertinya. Kerangka berpikir yang seperti ini saya kira selalu terdapat di kalangan pemeluk fanatik di setiap agama, bukan hanya Islam. Menurut saya keadaan ini mungkin masih fungsional jika kategorisasi masyarakat didasarkan pada identitas keagamaan, bukan kebangsaan seperti dewasa ini. Sayangnya yang berlaku sekarang adalah identitas kebangsaan, jadi apa pun agamanya, sukunya, warna kulitnya, mereka harus merasakan persatuan “tubuh”, bernaung di dalam tubuh besar yang bernama negara. Karena negara terdiri dari serangkaian keberagaman, sangat tidak etis jika satu elemen mendominasi elemen lainnya dan konsekuensinya frasa mayoritas-minoritas pun menjadi tak relevan lagi karena landasan negara dibentuk atas dasar kesepakatan bersama dari komunitas yang beragam itu. Singkatnya, alangkah tepat apa yang disampaikan Afi bahwa UUD ’45 dan Pancasila dapat dijadikan rujukan dalam mengambil setiap langkah kebijakan.

On the other hand, term syariat (hukum) Islam itu sendiri belum mendapatkan kata sepakat dari kalangan ulama/cendiawan muslim. Kalaupun ada kesepakatan, meski sulit untuk dibayangkan, syariat (hukum) dari mazhab siapa yang pantas diadopsi oleh Indonesia? Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, atau Ahmad? atau mungkin Imam Ja’far Ash-Shadiq? Belum lagi kita perlu menampung aspirasi almarhum Prof. Hasby Ash-Shiddieqy yang menyarankan perlunya produk fikih khas Indonesia. Hemat saya, UUD, pancasila, dan seluruh undang-undang lainnya sudah menjadi sebuah hasil kompromistik terbaik. Memang tidak sempurna, masih terdapat aneka peraturan yang secara tersurat bertolak belakang dengan tuntunan Islam, bahkan juga bertentangan dengan nilai-nilai universal setiap agama. Di sanalah keunggulan sistem demokrasi yang mana saban rakyat dapat turut serta memberikan sumbangsih pikiran/idenya untuk Indonesia yang lebih baik lagi. Hanya saja, jangan sampai lupa bahwa perbaikan pada manusia lebih baik daripada pembentukan peraturan hukumnya.

Selanjutnya Gilang mendeskripsikan kegelisahannya terhadap Afi yang menurutnya telah mencederai umat Islam yang gemar memaksakan keyakinan agamanya kepada orang lain. Padahal dalam tulisan itu Afi tidak secara langsung sedang mengobjeki umat Islam. Dia, dalam berbagai kesempatan, sesering mungkin mengatakan bahwa tulisannya bermakna universal, tidak tertuju pada salah satu pihak saja. Memang, sejauh sepengetahuan saya adalah umat Kristen –dalam rentetan sejarahnya– yang paling banyak memaksakan kehendak –dibanding umat Islam, tetapi kita tidak boleh berkutat di ranah banyak-sedikit, karena meski sedikit, hal tersebut tetaplah merupakan sebuah kesalahan.

Inti pesan yang hendak disampaikan Afi ialah soal kerukunan yang mulai pudar belakangan ini, dan sepertinya ia tidak akan puas dengan argumen perbandingan yang diajukan Gilang, seperti membandingkan Islam-Kristen atau Arab Saudi-Italia. Bukan saja tidak berelasi kuat, tetapi juga apa-apa yang dibandingkan pun tidak bisa, secara absolut, menyamakannya dengan kondisi keindonesiaan kita. Arab Saudi misalnya, tidak melulu merepresentasikan Islam, bahkan banyak cendekiawan yang mulai mempertanyakan style keislaman mereka yang terkesan kaku, rigid, dan tak memandang maslahat. Sebagai contoh sederhana, kita bisa melihat sudah berapa banyak TKI Indonesia yang dihukum mati hanya karena membela diri. Sama halnya dengan Italia yang tidak otomatis merepresentasikan umat Kristen karena sekarang kita memasuki era kosmopolitan, di mana dalam suatu tempat/ruang terdapat pelbagai unsur (suku, ras, budaya, agama, ideology, dll) yang mendiaminya, bahkan dalam satu komunitas tertentu pun tidak bersifat monolitik.

Di bagian akhir, Gilang memberi petuah kepada Afi supaya tidak lupa untuk membaca sejarah Indonesia, khususnya terkait pancasila yang dirancang oleh para tokoh muslim.
Terlihat dari isi sila pertama yang sangat bersifat teologis. Gilang benar jika sila pertama sangat bernuansakan keislaman, terlebih sempat terjadi perdebatan panjang perihal penghapusan tujuh kata “sakral” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) hingga akhirnya Ki Bagus Hadikusumo dkk. memilih jalan kompromi, mengubah tujuh kata tersebut menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa supaya dapat merangkul seluruh elemen bangsa. Jadilah, tidak hanya selaras dengan konsep tauhid Islam, tetapi juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal setiap agama.

Dari seluruh uraian tulisan “warisan”, bagi saya mungkin hanya ada satu statement Afi yang terkesan gegabah, yakni saat ia menyatakan bahwa agama-agama –yang berjumlah banyak itu– diciptakan oleh Allah. Pertanyaannya, bagaimana mungkin Tuhan menciptakan banyak agama yang mana terdapat pertentangan fundamental di dalamnya, merupakan manifestasi ajaran Tuhan? Kiranya lebih tepat jika kita mengatakan bahwa Tuhan merestui manusia untuk berkehendak bebas memilih jalan hidupnya masing-masing, sebab yang saya pahami, Allah hanya memberikan sebuah paket jalan hidup yang benar, yakni islam yang berarti penyerahan diri secara total kepada allah. Jadi, selain menempuh jalan penyerahan diri secara total tersebut, tentu dengan sendirinya akan tertolak. Walaupun bisa jadi Dia berkehendak lain, semaunya.

Terakhir, Gilang mewanti-wanti Afi supaya tidak terjerembab ke dalam lubang kefanaan, yakni ketenaran semu dari tulisan-tulisannya yang terkesan dibuat viral. Agaknya pernyataan ini akan ditarik kembali jika ia mau mengenal Afi lebih dalam, atau setidaknya membaca seluruh postingannya. Maka akan ditemukan bahwa ia adalah seorang siswi yang berpengetahuan luas tetapi sederhana. Afi Nihaya Faradisa pun hanya nama pena, bukan asli karena ia menyatakan bahwa dirinya tak perlu dikenal banyak orang, karena yang penting adalah pesannya/isinya yang dapat bermanfaat dan dimanfaatkan demi kemaslahatan umat manusia. Sebagai seorang pembelajar, saya tak malu untuk mengatakan bahwa saya adalah muridnya. Banyak pelajaran berharga yang tergores dari “tintanya”. Jikalau malam minggu banyak muda-mudi yang bersenang-senang, saya lebih memilih untuk menyalin ulang tulisan-tulisannya yang telah saya screeenshoot terlebih dahulu. Saat membaca curhatan/kritik sosialnya, seakan saya mendapat sesuatu yang amat berharga, melebihi berlian dan mobil mewah. Alangkah bahagianya. []

Bekasi, 21 Mei 2017

Komentar

  1. Luar biasa, absolutely beautiful writing, written in such a manner. Mantap gan, semoga bisa menjadi manfaat untuk banyak pembaca :)

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Saran saya buat penulis, jangan terlalu banyak membaca buku filsafat apalagi sampai kuliah di fakultas filsafat. Klo anda benar2 seorang muslimah, lebih baik anda perbanyak membaca & memahami Al Qu'ran plus terjemahannya dan lebih baik lagi sekaligus dengan tafsirnya sampai khatam. Jangan seperti orang "JIL" yg membaca & mengambil Al Qur'an hanya dengan hawa nafsu mereka. Klo sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka mereka ambil. Klo tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka akan mereka tolak bahkan mereka hina.

    BalasHapus
  4. Saran saya buat penulis, jangan terlalu banyak membaca buku filsafat apalagi sampai kuliah di fakultas filsafat. Klo anda benar2 seorang muslimah, lebih baik anda perbanyak membaca & memahami Al Qu'ran plus terjemahannya dan lebih baik lagi sekaligus dengan tafsirnya sampai khatam. Jangan seperti orang "JIL" yg membaca & mengambil Al Qur'an hanya dengan hawa nafsu mereka. Klo sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka mereka ambil. Klo tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka akan mereka tolak bahkan mereka hina.

    BalasHapus
  5. Saya sejujurnya tdk banyak membaca buku filsafat kok, soalnya otak saya yg sederhana ini sulit utk memahami berbagai terminologi dalam filsafat.
    Saya juga mengambil prodi Kajian timur tengah dan islam kok. Hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlukah bertuhan? Juga Perlukah Beragama?

#BookReview ke-2 Awalnya saya ragu untuk me-review buku The God Delusion karangan Richard Dawkins, seorang ateis ahli etologi asal Inggris, yang dapat dikatakan merupakan salah satu “kitab sucinya” para ateis kontemporer. Untuk itu sedari awal saya hendak memberi tahu bahwa upaya pe-review-an buku jenis ini bukan berarti sebuah ajakan untuk menjadi seorang ateis, bukan, melainkan undangan kepada para pembaca, khususnya umat muslim, untuk dapat memeriksa kembali keyakinannya. Apakah benar keyakinan akan keislamannya dapat dibuktikan, didemonstrasikan atau sekadar keyakinan taken for granted dari orangtua dan lingkungannya. Frasa “agama warisan” yang pernah dituturkan Afi Nihaya Faradisa, remaja SMA yang sempat viral beberapa bulan lalu, mungkin cocok untuk menggambarkan persoalan ini. Buku hasil terjemahan Zaim Rofiqi setebal 522 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Banana pada tahun 2013 berkat sokongan Dr.Ryu Hasan, seorang dosen di Universitas Airlangga yang diduga kuat j

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

  ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang diampu oleh Dr. H. Syahidin, M.Pd   dan Mokh. Iman Firmansyah M.A g Disusunoleh Kelompok 9 M. Jiva Agung                        (1202282) Eneng Dewi Zaakiyah            (1202855) PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2014 KATA PENGANTAR             Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya lah penyusun telah mampu menyelesaikan makalah kelompok ini. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Makalah yang berjudul “Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam. Adapun makalah ini membahas mengenai berbagai m

Sapi dalam pandangan islam

Dalam Al-Qur’an, terdapat sebuah surat panjang yang diberi nama sapi (Al-Baqarah) yang secara umum menceritakan tentang kisah Bani Israil dan Nabi Musa. Banyak hikmah yang dapat diperoleh setelah memahami isi kisahnya. Salah satunya adalah mengenai sikap Bani Israil terhadap binatang ini. Quraish Shihab dalam bukunya Dia dimana-mana menyatakan bahwa Bani Israil ingin meniru kaum Kan’an dalam hal membuat berhala. Pada masa itu kaum tersebut –Kan’an- menyembah berhala, antara lain yang terbuat dari tembaga dalam bentuk manusia berkepala lembu, yang duduk mengulurkan kedua tangannya bagaikan menanti pemberian. Shihab melanjutkan bahwa Bani Israil ini bermaksud untuk menandingi dan melebihi kaum Kan’an itu dengan membuatnya lebih hebat karena yang mereka buat adalah patung anak lembu yang terbuat dari emas dan bersuara, sedang milik orang Kan’an hanya terbuat dari tembaga dan tidak bersuara. [1]           Maka dari itu amat wajar jika Nabi Musa memarahi mereka tatkala beliau turun da