#BookReview ke-5
Supaya variatif dan adil, kali ini saya akan menyajikan review sebuah buku dari seorang sarjana “kanan” yang giat mengampanyekan gagasan anti liberalisme dan pluralisme agama, yang konon dapat merusak akidah umat.
2015 lalu penerbit Gema Insani meluncurkan sebuah buku kumpulan tulisan makalah dari seorang cendekiawan asal Bojonegoro lulusan S3 IIUM, Dr. Adian Husaini, yang berjudul Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta, Gagasan, Kritik, dan Solusinya.
Buku yang cukup kontroversional ini langsung mendapat beragam tanggapan, banyak yang memuji tetapi tak sedikit pula yang merendahkannya, bahkan memandang bahwa karya mantan jurnalis Republika ini tak memiliki bobot sama sekali.
Terdiri dari enam buah bab, buku bersahaja ini berusaha untuk menggambarkan kondisi pemikiran umat Islam terkini, khususnya di kalangan elit Indonesia, yang menurutnya telah terjangkit virus berbahaya yang diimpor dari Barat.
Di bab pertama yang diberi judul Liberalisasi Islam di Indonesia, Adian hendak mengajak pembaca, dengan mengutip artikel Dr. Muammar Khalif, untuk tetap teguh berpegang kepada keislaman ahlus sunnah yang saat ini sedang diguncang oleh berbagai macam pandangan “sesat” seperti yang digagas oleh para kaum liberal.
Paham ini, lanjutnya, meski telah tertanam sejak zaman penjajahan Belanda, tetapi secara sistemik dapat dikatakan dimulai pada periode awal tahun 1970 yang diinisiatifkan oleh Nurcholish Madjid, yang di tempat lain juga ditumbuh-kembangkan oleh sekelompok aktivis yang menyebut dirinya Lingkaran Diskusi Limited Group di bawah bimbingan Prof. Mukti Ali. Menurut Adian, nama yang terakhir disebut ini sangat terkagum-kagum dengan karya Harvey Cox, The secular City.
Adian memaparkan bahwa sejatinya liberalisasi terjadi di seluruh sektor, termasuk agama. Sebelum Islam, ungkapnya, Yahudi dan Kristen pun terkena imbasnya.
Dalam tubuh Islam sendiri, bagi Adian, liberalisasi memasuki dua ranah. Yang pertama ialah bidang akidah. Dengan menepis truth claim, para liberalis menjunjung tinggi pluralisme agama yang pada intinya agama apa pun ––meski berbeda dalam tataran eksoterik–– adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama.
Beberapa tokoh seperti Ulil Abshar Abdalla, Budhy Munawar Rahman, Abdul Munir Mulkhan, Nurcholis Madjid, Alwi Shihab, Sukidi, Luthfi Assyaukanie, Nuryamin Aini, dan Abd Moqsith Al-Ghazali, dianggap sebagai penyemai ide-ide berbahaya ini.
Selain produk pluralisme agama, Adian mengatakan bahwa mereka juga hendak meruntuhkan kesakralan Alquran. Lagi-lagi, tanpa takut, ia menyebut nama-nama personal maupun lembaga yang getol melancarkan isu-isu ini yang kemudian ia bantah secara apologetik.
Berdasarkan observasi Adian, bidang kedua yang menjadi sorotan para kaum liberal ialah seputar syariat Islam yang menurutnya hendak membongkar hukum-hukum Qath’i dengan penggunaan metode sosio-historis (kontekstual) atau yang biasa disebut dengan pendekatan hermeneutik.
Beberapa contoh produknya seperti, membuka peluang bagi seorang laki-laki non muslim untuk menikahi perempuan muslim dan upaya pelegalisasian pernikahan sesama jenis.
Selanjutnya, di bab dua Adian menggambarkan kondisi “prihatin” IAIN/UIN yang menurutnya sudah terjangkit penyakit liberalisme. Baginya, Prof. Harun Nasution-lah, sarjana lulusan Islamic Studies McGill University, yang telah memperkenalkan ide-ide tersebut ke dalam wilayah kampus secara radikal, sistemik, dan masif.
Mulai dari mengubah kurikulum IAIN, yang salah satunya produknya ialah memasukkan buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, yang tiada lain adalah buku karangannya sendiri, ke dalam buku rujukan wajib mata kuliah Pengantar Agama Islam di seluruh IAIN di Indonesia.
Buku ini, tegas Adian, amat berbahaya bagai kemurnian tauhid Islam sebab sarat dengan cara pandang Barat dan teologi Mu’tazilah. Untuk meng-counter buku tersebut, Adian banyak sekali melampirkan argumen Prof. H.M Rasyidi, guru besar UI, yang memang waktu itu membuat buku berjudul Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Penerbit Bulan Bintang), untuk membantah kerancuan berpikir Harun Nasution.
Masuk pada bab tiga, setelah sepintas mengurai definisi dan penyebaran pluralisme agama, Adian mencoba untuk menyuguhkan perspektif kaum agamawan yang tak setuju dengan ide-ide nakal tersebut, mulai dari sikap pembesar Katolik, Protestan, Hindu, dan juga Islam. Adapun bab empat, perkara gagasan homoseksual, sedikit banyak telah terbahas di bab pertama.
Adian menduga keras bahwa agenda liberalisasi Islam sesungguhnya diprakarsai oleh para aktivis neo-konservatif Barat (Kristen fundamentalis, Yahudi sayap kanan, politisi Republik, ilmuwan neo-orientalis) guna memperlemah umat Islam, sebab bagi mereka Islam memiliki potensi yang cukup besar untuk menghalangi mereka mengusai politik-ekonomi internasional.
Segala daya upaya mereka lakukan, mulai dari menggelontorkan dana dalam rangka mengubah ajaran Islam itu sendiri hingga mempromosikan atau membentuk Islam moderat ––versi Amerika.
Di bab kelima, Adian menampilkan sebuah teks makalah, yang pernah ia sampaikan ––sebagai perwakilan Majelis Ulama Indonesia–– dalam perkara Judical Review terhadap UU No.1/PNPS/1965 (tentang penodaan agama, khususnya terkait pengakuan agama-agama selain yang tertera dalam UU) di Mahkamah Konstitusi pada bulan Februari 2010, berjudul Indonesia Bukan Negara “Netral Agama” yang pada intinya menyarankan supaya UU tersebut untuk sementara waktu tidak perlu diubah.
Adian berpandangan bahwa jika gugatan tersebut disetujui, maka akan berdampak pada “penyamaan” kedudukan semua agama dan aliran keagamaan/pemikiran. Dan ini amat berbahaya bagi keberlangsungan interaksi antar umat beragama itu sendiri.
Terakhir, di bab enam Adian me-resume pandangan salah seorang penjaga gawang Islam “konservatif”, Prof. Syed M. Nuqaib Al-Attas terkait isu hubungan antara Islam dan Barat. Al-Attas meyakini bahwa sejatinya Islam dan Barat tidak bisa disatukan karena keduanya memiliki nilai-nilai fundamental yang berbeda, yang jika dipaksakan akan menyebabkan sebuah konflik permanen.
Dari seluruh rangkaian buku ini, bagi saya Adian termasuk sosok yang tidak mengenal kompromi tetapi sayang, keyakinannya ini tidak diimbangi oleh landasan argumen yang kuat, terkadang salah paham, bahkan terkesan gegabah.
Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa penulis buku Fikih Lintas Agama melecehkan Imam Syafi’i. Padahal jelas tidak ada statement yang bernada pelecehan melainkan penulis buku tersebut hanya hendak mengkritik para ulama yang tidak berani berdinamika dengan perubahan zaman, kadung menganggap final kerangka ushul fikih buatan Imam Syafi’i.
Contoh lainnya ialah tentang pandangan Ulil yang katanya telah menjadikan agama sebagai bagian dari sejarah karena menyatakan Islam sebagai sebuah “organisme” yang hidup dan berkembang.
Sejatinya penyataan ini tidaklah salah, karena sebagaimana diketahui, sedari awal pasca meninggalnya Nabi, ajaran Islam terus mengalami perubahan meski bukan berarti segalanya berubah, termasuk hal-hal prinsipil.
Jika saja Adian mau membaca pandangan Ulil lebih teliti, dalam bukunya yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Bunga Rampai Surat-Surat Tersiar, yang diluncurkan oleh penerbit Nalar, ia mengatakan bahwa JIL ––mungkin termasuk dia di dalamnya–– tidak memiliki pemahaman yang berbeda terkait empat hal fundamen (syahadat, ibadah mahdah, akhlak, dan tata aturan makanan).
Cak Nun pernah mengatakan bahwa dalam hidup ini manusia harus pandai ngerem dan ngegas. Nah, saya kira buku Adian ini dapat dikategorikan sebagai langkah ngerem yang sedikit banyak berdampak positif untuk mengimbangi para pemikir muslim yang “liberal” di mana mereka memang getol menancap gas perubahan tanpa tendeng aling-aling. []
Supaya variatif dan adil, kali ini saya akan menyajikan review sebuah buku dari seorang sarjana “kanan” yang giat mengampanyekan gagasan anti liberalisme dan pluralisme agama, yang konon dapat merusak akidah umat.
2015 lalu penerbit Gema Insani meluncurkan sebuah buku kumpulan tulisan makalah dari seorang cendekiawan asal Bojonegoro lulusan S3 IIUM, Dr. Adian Husaini, yang berjudul Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta, Gagasan, Kritik, dan Solusinya.
Buku yang cukup kontroversional ini langsung mendapat beragam tanggapan, banyak yang memuji tetapi tak sedikit pula yang merendahkannya, bahkan memandang bahwa karya mantan jurnalis Republika ini tak memiliki bobot sama sekali.
Terdiri dari enam buah bab, buku bersahaja ini berusaha untuk menggambarkan kondisi pemikiran umat Islam terkini, khususnya di kalangan elit Indonesia, yang menurutnya telah terjangkit virus berbahaya yang diimpor dari Barat.
Di bab pertama yang diberi judul Liberalisasi Islam di Indonesia, Adian hendak mengajak pembaca, dengan mengutip artikel Dr. Muammar Khalif, untuk tetap teguh berpegang kepada keislaman ahlus sunnah yang saat ini sedang diguncang oleh berbagai macam pandangan “sesat” seperti yang digagas oleh para kaum liberal.
Paham ini, lanjutnya, meski telah tertanam sejak zaman penjajahan Belanda, tetapi secara sistemik dapat dikatakan dimulai pada periode awal tahun 1970 yang diinisiatifkan oleh Nurcholish Madjid, yang di tempat lain juga ditumbuh-kembangkan oleh sekelompok aktivis yang menyebut dirinya Lingkaran Diskusi Limited Group di bawah bimbingan Prof. Mukti Ali. Menurut Adian, nama yang terakhir disebut ini sangat terkagum-kagum dengan karya Harvey Cox, The secular City.
Adian memaparkan bahwa sejatinya liberalisasi terjadi di seluruh sektor, termasuk agama. Sebelum Islam, ungkapnya, Yahudi dan Kristen pun terkena imbasnya.
Dalam tubuh Islam sendiri, bagi Adian, liberalisasi memasuki dua ranah. Yang pertama ialah bidang akidah. Dengan menepis truth claim, para liberalis menjunjung tinggi pluralisme agama yang pada intinya agama apa pun ––meski berbeda dalam tataran eksoterik–– adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama.
Beberapa tokoh seperti Ulil Abshar Abdalla, Budhy Munawar Rahman, Abdul Munir Mulkhan, Nurcholis Madjid, Alwi Shihab, Sukidi, Luthfi Assyaukanie, Nuryamin Aini, dan Abd Moqsith Al-Ghazali, dianggap sebagai penyemai ide-ide berbahaya ini.
Selain produk pluralisme agama, Adian mengatakan bahwa mereka juga hendak meruntuhkan kesakralan Alquran. Lagi-lagi, tanpa takut, ia menyebut nama-nama personal maupun lembaga yang getol melancarkan isu-isu ini yang kemudian ia bantah secara apologetik.
Berdasarkan observasi Adian, bidang kedua yang menjadi sorotan para kaum liberal ialah seputar syariat Islam yang menurutnya hendak membongkar hukum-hukum Qath’i dengan penggunaan metode sosio-historis (kontekstual) atau yang biasa disebut dengan pendekatan hermeneutik.
Beberapa contoh produknya seperti, membuka peluang bagi seorang laki-laki non muslim untuk menikahi perempuan muslim dan upaya pelegalisasian pernikahan sesama jenis.
Selanjutnya, di bab dua Adian menggambarkan kondisi “prihatin” IAIN/UIN yang menurutnya sudah terjangkit penyakit liberalisme. Baginya, Prof. Harun Nasution-lah, sarjana lulusan Islamic Studies McGill University, yang telah memperkenalkan ide-ide tersebut ke dalam wilayah kampus secara radikal, sistemik, dan masif.
Mulai dari mengubah kurikulum IAIN, yang salah satunya produknya ialah memasukkan buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, yang tiada lain adalah buku karangannya sendiri, ke dalam buku rujukan wajib mata kuliah Pengantar Agama Islam di seluruh IAIN di Indonesia.
Buku ini, tegas Adian, amat berbahaya bagai kemurnian tauhid Islam sebab sarat dengan cara pandang Barat dan teologi Mu’tazilah. Untuk meng-counter buku tersebut, Adian banyak sekali melampirkan argumen Prof. H.M Rasyidi, guru besar UI, yang memang waktu itu membuat buku berjudul Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Penerbit Bulan Bintang), untuk membantah kerancuan berpikir Harun Nasution.
Masuk pada bab tiga, setelah sepintas mengurai definisi dan penyebaran pluralisme agama, Adian mencoba untuk menyuguhkan perspektif kaum agamawan yang tak setuju dengan ide-ide nakal tersebut, mulai dari sikap pembesar Katolik, Protestan, Hindu, dan juga Islam. Adapun bab empat, perkara gagasan homoseksual, sedikit banyak telah terbahas di bab pertama.
Adian menduga keras bahwa agenda liberalisasi Islam sesungguhnya diprakarsai oleh para aktivis neo-konservatif Barat (Kristen fundamentalis, Yahudi sayap kanan, politisi Republik, ilmuwan neo-orientalis) guna memperlemah umat Islam, sebab bagi mereka Islam memiliki potensi yang cukup besar untuk menghalangi mereka mengusai politik-ekonomi internasional.
Segala daya upaya mereka lakukan, mulai dari menggelontorkan dana dalam rangka mengubah ajaran Islam itu sendiri hingga mempromosikan atau membentuk Islam moderat ––versi Amerika.
Di bab kelima, Adian menampilkan sebuah teks makalah, yang pernah ia sampaikan ––sebagai perwakilan Majelis Ulama Indonesia–– dalam perkara Judical Review terhadap UU No.1/PNPS/1965 (tentang penodaan agama, khususnya terkait pengakuan agama-agama selain yang tertera dalam UU) di Mahkamah Konstitusi pada bulan Februari 2010, berjudul Indonesia Bukan Negara “Netral Agama” yang pada intinya menyarankan supaya UU tersebut untuk sementara waktu tidak perlu diubah.
Adian berpandangan bahwa jika gugatan tersebut disetujui, maka akan berdampak pada “penyamaan” kedudukan semua agama dan aliran keagamaan/pemikiran. Dan ini amat berbahaya bagi keberlangsungan interaksi antar umat beragama itu sendiri.
Terakhir, di bab enam Adian me-resume pandangan salah seorang penjaga gawang Islam “konservatif”, Prof. Syed M. Nuqaib Al-Attas terkait isu hubungan antara Islam dan Barat. Al-Attas meyakini bahwa sejatinya Islam dan Barat tidak bisa disatukan karena keduanya memiliki nilai-nilai fundamental yang berbeda, yang jika dipaksakan akan menyebabkan sebuah konflik permanen.
Dari seluruh rangkaian buku ini, bagi saya Adian termasuk sosok yang tidak mengenal kompromi tetapi sayang, keyakinannya ini tidak diimbangi oleh landasan argumen yang kuat, terkadang salah paham, bahkan terkesan gegabah.
Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa penulis buku Fikih Lintas Agama melecehkan Imam Syafi’i. Padahal jelas tidak ada statement yang bernada pelecehan melainkan penulis buku tersebut hanya hendak mengkritik para ulama yang tidak berani berdinamika dengan perubahan zaman, kadung menganggap final kerangka ushul fikih buatan Imam Syafi’i.
Contoh lainnya ialah tentang pandangan Ulil yang katanya telah menjadikan agama sebagai bagian dari sejarah karena menyatakan Islam sebagai sebuah “organisme” yang hidup dan berkembang.
Sejatinya penyataan ini tidaklah salah, karena sebagaimana diketahui, sedari awal pasca meninggalnya Nabi, ajaran Islam terus mengalami perubahan meski bukan berarti segalanya berubah, termasuk hal-hal prinsipil.
Jika saja Adian mau membaca pandangan Ulil lebih teliti, dalam bukunya yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Bunga Rampai Surat-Surat Tersiar, yang diluncurkan oleh penerbit Nalar, ia mengatakan bahwa JIL ––mungkin termasuk dia di dalamnya–– tidak memiliki pemahaman yang berbeda terkait empat hal fundamen (syahadat, ibadah mahdah, akhlak, dan tata aturan makanan).
Cak Nun pernah mengatakan bahwa dalam hidup ini manusia harus pandai ngerem dan ngegas. Nah, saya kira buku Adian ini dapat dikategorikan sebagai langkah ngerem yang sedikit banyak berdampak positif untuk mengimbangi para pemikir muslim yang “liberal” di mana mereka memang getol menancap gas perubahan tanpa tendeng aling-aling. []
Komentar
Posting Komentar