#BookReview ke-4
Waktu berada di bangku kuliah, mungkin tingkat dua atau tiga, salah satu dosen menyuruh saya untuk membaca bukunya Prof. Musa Asy’arie. Karena saat itu saya masih polos ––dan sekarang masih, saya tidak tahu menahu soal Prof.Musa.
Lama sekali setelah kejadian itu, saya mengunjungi Rumah Buku di Jln. Supratman, Bandung. Sudah menjadi kebiasaan mengungjungi tempat ini sebab diskonnya yang cukup fantastis tanpa mengenal waktu, apalagi kalau sampai menjadi member.
Istimewanya, toko buku ini juga menjual buku-buku bekas, yang diduga kuat karena tak laku atau sudah sangat lama, dijual super murah. Saya ubek-ubek dan mendapatkan buku Ilmu Pendidikan Islami-nya Prof.Ahmad Tafsir, yang jumlah halamannya cukup banyak, tetapi dijual dengan hanya 10.000 perak saja.
Lagi, saya mendapatkan buku lawas berjudul Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir karangan Prof. Musa seharga 15.000. Saya mendadak teringat kembali pesan yang pernah diucapkan dosen saya dan tanpa berpikir panjang langsung membawanya ke kasir. Buku terakhir yang saya bicarakan inilah yang akan saya rensensi.
Buku terbitan Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI) dengan jumlah bersih 306 halaman ini pertama kali dicetak pada tahun 1999, tetapi yang ada di tangan saya adalah cetakan keduanya (2001).
Sebagaimana termuat dalam kata pengantar, penulisan buku ini dilatarbelakangi oleh kelangkaan buku-buku Filsafat Islam yang disajikan secara sistematis karena umumnya sebagian besar ditulis berdasarkan alur historis dan tematik.
Terdiri dari sembilan bab, buku ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah kerangkanya, yang ia beri judul Makna dan Hakikat Filsafat Islam, menjelaskan seputar definisi Filsafat Islam, varian pendekatan-pendekatannya, hakikatnya, objek kajiannya, hubungannya dengan keilmuan Islam lain, dan memaparkan sub bab Kiblat Berfikir Umat Islam di akhir bab pertama. Sedang bagian kedua merinci seputar objek-objek kajian dalam Filsafat Islam.
Filsafat tentu erat kaitannya dengan berpikir, bahkan mungkin berpikir bebas dan radikal, yang sayangnya masih ditakuti oleh sebagian besar umat muslim dewasa ini. Untuk itu sedari awal Musa mengatakan bahwa umat muslim tidak perlu menakuti hal tersebut.
“Apakah kebebasan berpikir itu mungkin? Ya, mengapa tidak, karena kebebasan berpikir tidak sama dengan kebebasan berbuat. Berpikir itu memang kodratnya bebas, dan kebebasan berpikir dengan sendirinya adalah hal yang semestinya, tidak perlu ditakuti, bahkan dalam taraf berpikir, tidak bisa dikenakan sanksi moral apa pun.”
Sedangkan kata “Islam” cenderung dipahami sebagai sebuah kata sifat yang berarti penyerahan diri. Oleh karena itu, jika dua kata ini disambung maka maknanya ialah sebuah olah pikir yang radikal, bebas, yang berada pada tataran makna dan memiliki sifat, corak, karakter yang menyelamatkan dan memberikan kedamaian hati.
Lebih lanjut Musa menuturkan bahwa Filsafat Islam tidaklah bersifat netral karena keberpihakannya telah jelas, yakni kepada keselamatan dan kedamaian (Islam).
Tidak hanya itu, dalam Filsafat Islam bukan hanya berbasiskan nalar-logis (rasional) melainkan juga memasukkan dimensi spiritual atau supra natural. Musa menyebutnya sebagai metode rasional transendental. Adalah Al-Farabi dan Al-Ghazali yang dimasukannya ke dalam kelompok punggawa keilmuan ini yang tentunya berbeda dengan kerangka filsafatnya Niestzhe atau Sartre.
Bagi Musa, Filsafat Islam memiliki banyak pendekatan, mulai dari historis, doktrinal, metodik, organik, dan teleologis. Pendekatan pertama ia rumuskan dari sepak terjang perjalanan Muhammad yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai tokoh filosof sejati, sebab ia bukan saja berpikir tentang sesuatu yang besar atau abstrak (membaca realitas kehidupan), tetapi juga berkontribusi langsung dalam pengaplikasiannya.
Selanjutnya adalah pendekatan doktrinal yang secara eksplisit dijelaskan dalam surat Al-Jumu’ah ayat 2. Di sana dikatakan bahwa Rasulullah mengajarkan umat manusia melalui kitab dan hikmah. Untuk kitab, sudah jelas, yang dimaksud adalah Alquran, sedangkan hikmah dipahami Musa sebagai filsafat. Jadi, di dalam pendekatan ini ia hendak menegaskan bahwa Filsafat Islam tidaklah mengada-ngada melainkan mendapatkan basis yang kuat.
Untuk pendekatan metodik, sekali lagi ia memperkenalkan metode rasional transendental yang menurutnya merupakan sunnah Rasul ––dalam berpikir. Maksud dari pendekatan ini ialah dengan cara menganalisis fakta-fakta empiris lalu mengangkatnya para kesadaran spiritual dan diakhiri dengan membangun visi transenden dalam memecahkan suatu persoalan tertentu.
Masih senada dengan pendekatan metodik, pendekatan organik menitik beratkan mekanisme akal ––sebagai kesatuan organik pikiran–– dan kalbu dalam satu kesatuan pikir dan zikir.
Sedangkan pendekatan teleologis, sebagaimana tujuan dari Filsafat Islam itu sendiri, ialah untuk mentransformasi sesuatu ke arah transendensi, menyatukan dan memasuki pengalaman ke hadirat Ilahi.
Berbicara mengenai objek kajian, sejatinya ilmu Filsafat Islam menaungi hakikat segala yang ada, hanya saja karena adanya perbedaan ruang dan waktu, mungkin akan terjadi perbedaan dalam beberapa penekanannya, sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman.
Dan di dalam buku ini, Musa mengulas setidaknya delapan buah objek kajian. Yang pertama adalah perihal ontologi. Di sini ia mengurai tema-tema yang sudah lazim dibahas, seperti Yang Ada (being), Yang Nyata (reality), Esensi dan Eksistensi, Hakikat Kemajemukan (pluralitas), dan Hakikat Perubahan.
Objek yang menjadi kajian keduanya ialah seputar epistemologi. Lalu tentang etika dengan menyuguhkan isu hakikat baik-jahat, etika politik-sosial-ekonomi-kebudayaan, dan tentu, agama.
Estetika menjadi objek kajiannya yang keempat sedangkan teologi, dengan membahas Tuhan dalam persepsi dan konsepsi, pengalaman-pengalaman spiritual dan sistem teologi tauhid, dibubuhkan dalam objek kajian yang kelima.
Kosmologi, yang disimpan di bab ketujuh, menarasikan seputar hakikat alam semesta, teori penciptaannya, dan mekanismenya. Tak lupa Musa juga meluangkan tempat bagi persoalan ruang, waktu, dan gerak yang tentu selalu menjadi bahan diskusi menarik sepanjang bentangan sejarah umat manusia.
Objek kajian yang selanjutnya ia paparkan ialah mengenai antrologi, menelaah hakikat manusia, penciptaan, kedudukan-peran, dan tujuannya. Uniknya, ia juga menilik konsep ruh, sesuatu yang amat jarang dikupas dalam buku-buku filsafat. Tidak sempurna rasanya jika kajian eskatologi dilewatkan.
Di simpan di bagian akhir, dengan lihai Musa mendiskusikan isu-isu seputar kematian, hari kiamat, kebangkitan, kehidupan akhirat, surga-neraka, dan perjalanan menuju Tuhan.
Yang menjadi kekhasan dari buku Musa ini ialah usahanya untuk memadukan dan menyintesiskan dua buah pandangan yang sejak dulu sulit untuk “berdamai” yakni dari golongan rasionalis, dan di sisi lain dari kaum sufistik.
Masing-masing mengklaim bahwa kebenaran hanya akan didapat melalui proses seperti yang mereka jalani. Untuk itu, upaya yang dipromosikan oleh Musa ini, meski tak tergolong baru sama sekali, bisa menjadi sebuah alternatif jawaban, sekaligus semakin memperkaya khazanah ilmu keislaman.
Gagasan Musa ini telah didahului oleh seorang filsuf sekaligus sufi besar, Al-Suhrawardi, yang kemudian disempurnakan Mulla Shadra yang menyatakan bahwa pencarian dan perolehan kebenaran dilalui, pertama-tama, dengan melakukan lakon tazkiyatun nafs (perbersihan jiwa), hingga memperoleh ketersingkapan rahasia-rahasia Ilahi yang levelnya tidak lagi ilmul yaqin melainkan telah mencapai haqul yaqin (kebenaran yang tak diragukan sedikit pun karena merupakan pemberian Tuhan secara taken for granted), yang pada akhirnya dapat dideskripsikan ke dalam cara-cara diskursif-logis (demonstrasional).
Waktu berada di bangku kuliah, mungkin tingkat dua atau tiga, salah satu dosen menyuruh saya untuk membaca bukunya Prof. Musa Asy’arie. Karena saat itu saya masih polos ––dan sekarang masih, saya tidak tahu menahu soal Prof.Musa.
Lama sekali setelah kejadian itu, saya mengunjungi Rumah Buku di Jln. Supratman, Bandung. Sudah menjadi kebiasaan mengungjungi tempat ini sebab diskonnya yang cukup fantastis tanpa mengenal waktu, apalagi kalau sampai menjadi member.
Istimewanya, toko buku ini juga menjual buku-buku bekas, yang diduga kuat karena tak laku atau sudah sangat lama, dijual super murah. Saya ubek-ubek dan mendapatkan buku Ilmu Pendidikan Islami-nya Prof.Ahmad Tafsir, yang jumlah halamannya cukup banyak, tetapi dijual dengan hanya 10.000 perak saja.
Lagi, saya mendapatkan buku lawas berjudul Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir karangan Prof. Musa seharga 15.000. Saya mendadak teringat kembali pesan yang pernah diucapkan dosen saya dan tanpa berpikir panjang langsung membawanya ke kasir. Buku terakhir yang saya bicarakan inilah yang akan saya rensensi.
Buku terbitan Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI) dengan jumlah bersih 306 halaman ini pertama kali dicetak pada tahun 1999, tetapi yang ada di tangan saya adalah cetakan keduanya (2001).
Sebagaimana termuat dalam kata pengantar, penulisan buku ini dilatarbelakangi oleh kelangkaan buku-buku Filsafat Islam yang disajikan secara sistematis karena umumnya sebagian besar ditulis berdasarkan alur historis dan tematik.
Terdiri dari sembilan bab, buku ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah kerangkanya, yang ia beri judul Makna dan Hakikat Filsafat Islam, menjelaskan seputar definisi Filsafat Islam, varian pendekatan-pendekatannya, hakikatnya, objek kajiannya, hubungannya dengan keilmuan Islam lain, dan memaparkan sub bab Kiblat Berfikir Umat Islam di akhir bab pertama. Sedang bagian kedua merinci seputar objek-objek kajian dalam Filsafat Islam.
Filsafat tentu erat kaitannya dengan berpikir, bahkan mungkin berpikir bebas dan radikal, yang sayangnya masih ditakuti oleh sebagian besar umat muslim dewasa ini. Untuk itu sedari awal Musa mengatakan bahwa umat muslim tidak perlu menakuti hal tersebut.
“Apakah kebebasan berpikir itu mungkin? Ya, mengapa tidak, karena kebebasan berpikir tidak sama dengan kebebasan berbuat. Berpikir itu memang kodratnya bebas, dan kebebasan berpikir dengan sendirinya adalah hal yang semestinya, tidak perlu ditakuti, bahkan dalam taraf berpikir, tidak bisa dikenakan sanksi moral apa pun.”
Sedangkan kata “Islam” cenderung dipahami sebagai sebuah kata sifat yang berarti penyerahan diri. Oleh karena itu, jika dua kata ini disambung maka maknanya ialah sebuah olah pikir yang radikal, bebas, yang berada pada tataran makna dan memiliki sifat, corak, karakter yang menyelamatkan dan memberikan kedamaian hati.
Lebih lanjut Musa menuturkan bahwa Filsafat Islam tidaklah bersifat netral karena keberpihakannya telah jelas, yakni kepada keselamatan dan kedamaian (Islam).
Tidak hanya itu, dalam Filsafat Islam bukan hanya berbasiskan nalar-logis (rasional) melainkan juga memasukkan dimensi spiritual atau supra natural. Musa menyebutnya sebagai metode rasional transendental. Adalah Al-Farabi dan Al-Ghazali yang dimasukannya ke dalam kelompok punggawa keilmuan ini yang tentunya berbeda dengan kerangka filsafatnya Niestzhe atau Sartre.
Bagi Musa, Filsafat Islam memiliki banyak pendekatan, mulai dari historis, doktrinal, metodik, organik, dan teleologis. Pendekatan pertama ia rumuskan dari sepak terjang perjalanan Muhammad yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai tokoh filosof sejati, sebab ia bukan saja berpikir tentang sesuatu yang besar atau abstrak (membaca realitas kehidupan), tetapi juga berkontribusi langsung dalam pengaplikasiannya.
Selanjutnya adalah pendekatan doktrinal yang secara eksplisit dijelaskan dalam surat Al-Jumu’ah ayat 2. Di sana dikatakan bahwa Rasulullah mengajarkan umat manusia melalui kitab dan hikmah. Untuk kitab, sudah jelas, yang dimaksud adalah Alquran, sedangkan hikmah dipahami Musa sebagai filsafat. Jadi, di dalam pendekatan ini ia hendak menegaskan bahwa Filsafat Islam tidaklah mengada-ngada melainkan mendapatkan basis yang kuat.
Untuk pendekatan metodik, sekali lagi ia memperkenalkan metode rasional transendental yang menurutnya merupakan sunnah Rasul ––dalam berpikir. Maksud dari pendekatan ini ialah dengan cara menganalisis fakta-fakta empiris lalu mengangkatnya para kesadaran spiritual dan diakhiri dengan membangun visi transenden dalam memecahkan suatu persoalan tertentu.
Masih senada dengan pendekatan metodik, pendekatan organik menitik beratkan mekanisme akal ––sebagai kesatuan organik pikiran–– dan kalbu dalam satu kesatuan pikir dan zikir.
Sedangkan pendekatan teleologis, sebagaimana tujuan dari Filsafat Islam itu sendiri, ialah untuk mentransformasi sesuatu ke arah transendensi, menyatukan dan memasuki pengalaman ke hadirat Ilahi.
Berbicara mengenai objek kajian, sejatinya ilmu Filsafat Islam menaungi hakikat segala yang ada, hanya saja karena adanya perbedaan ruang dan waktu, mungkin akan terjadi perbedaan dalam beberapa penekanannya, sesuai dengan konteks dan kebutuhan zaman.
Dan di dalam buku ini, Musa mengulas setidaknya delapan buah objek kajian. Yang pertama adalah perihal ontologi. Di sini ia mengurai tema-tema yang sudah lazim dibahas, seperti Yang Ada (being), Yang Nyata (reality), Esensi dan Eksistensi, Hakikat Kemajemukan (pluralitas), dan Hakikat Perubahan.
Objek yang menjadi kajian keduanya ialah seputar epistemologi. Lalu tentang etika dengan menyuguhkan isu hakikat baik-jahat, etika politik-sosial-ekonomi-kebudayaan, dan tentu, agama.
Estetika menjadi objek kajiannya yang keempat sedangkan teologi, dengan membahas Tuhan dalam persepsi dan konsepsi, pengalaman-pengalaman spiritual dan sistem teologi tauhid, dibubuhkan dalam objek kajian yang kelima.
Kosmologi, yang disimpan di bab ketujuh, menarasikan seputar hakikat alam semesta, teori penciptaannya, dan mekanismenya. Tak lupa Musa juga meluangkan tempat bagi persoalan ruang, waktu, dan gerak yang tentu selalu menjadi bahan diskusi menarik sepanjang bentangan sejarah umat manusia.
Objek kajian yang selanjutnya ia paparkan ialah mengenai antrologi, menelaah hakikat manusia, penciptaan, kedudukan-peran, dan tujuannya. Uniknya, ia juga menilik konsep ruh, sesuatu yang amat jarang dikupas dalam buku-buku filsafat. Tidak sempurna rasanya jika kajian eskatologi dilewatkan.
Di simpan di bagian akhir, dengan lihai Musa mendiskusikan isu-isu seputar kematian, hari kiamat, kebangkitan, kehidupan akhirat, surga-neraka, dan perjalanan menuju Tuhan.
Yang menjadi kekhasan dari buku Musa ini ialah usahanya untuk memadukan dan menyintesiskan dua buah pandangan yang sejak dulu sulit untuk “berdamai” yakni dari golongan rasionalis, dan di sisi lain dari kaum sufistik.
Masing-masing mengklaim bahwa kebenaran hanya akan didapat melalui proses seperti yang mereka jalani. Untuk itu, upaya yang dipromosikan oleh Musa ini, meski tak tergolong baru sama sekali, bisa menjadi sebuah alternatif jawaban, sekaligus semakin memperkaya khazanah ilmu keislaman.
Gagasan Musa ini telah didahului oleh seorang filsuf sekaligus sufi besar, Al-Suhrawardi, yang kemudian disempurnakan Mulla Shadra yang menyatakan bahwa pencarian dan perolehan kebenaran dilalui, pertama-tama, dengan melakukan lakon tazkiyatun nafs (perbersihan jiwa), hingga memperoleh ketersingkapan rahasia-rahasia Ilahi yang levelnya tidak lagi ilmul yaqin melainkan telah mencapai haqul yaqin (kebenaran yang tak diragukan sedikit pun karena merupakan pemberian Tuhan secara taken for granted), yang pada akhirnya dapat dideskripsikan ke dalam cara-cara diskursif-logis (demonstrasional).
Komentar
Posting Komentar